Anak Kecil Nangis Pangkas Rambut Ternyata Bukan Takut Pisau Cukur – Dia menangis tersedu-sedu. Meraung tak keruan. Meraih manja kepada ibunya yang tertawa terbahak.
Anak Kecil Nangis Pangkas Rambut
Mainan di tangannya dilempar ke lantai. Berserak, pecah satu persatu. Tangisannya makin menjadi-jadi. Dia seperti lupa bagaimana caranyacuntuk mereda tangis yang kunjung beranak airmata teramat banyak. Anak kecil ini takut sekali pada pisau cukur, tampaknya.
“Lihat ke cermin, adik akan tambah tampan!” suara wanita itu menghangatkan Dia yang masih belum reda tangisnya. Dia seperti tak terima, atau memang tidak mau menerima suara lembut ibunya. Dia mana tahu tampan itu bagaimana. Dia belum mengerti apa-apa maksud tampan dalam definisi orang dewasa.
Dia tentu saja nggak menuju ke arah menarik perhatian lawan jenis karena terlalu tampan. Dia ingin sekali terlepas dari jerat maut di sore itu. Jatah main bersama teman-teman kecil di lingkungannya telah terenggut. Jadwal minum susu sore telah kering. Kasur empuk tempat tidur telah tertinggal bersama guling dalam galau.
“Sedikit lagi ya…,” pria yang mencakar kepala Dia dengan mesin cukur sudah berulangkali mengatakan hal yang sama. Semenit yang lalu pria dengan perawakan pendek, berisi sedikit, rambut cepak itu telah merayu kalimat sedikit lagi sebagai senjata pamungkas.
Dia tidak mau terima, teriakannya mengalahkan musik dangdut yang diputar oleh warung kopi sebelah kiri dan meredam musik rock dari agen travel sebelah kanan. Dua tempat tersebut seperti sedang menggelar konser dadakan menghibur Dia yang enggan disentuh rambut yang telah menutupi telinga.
“Ayah!!!,” ini entah kali ke berapa Dia memanggil ayahnya. Di batinnya, tentu saja pria perkasa itu akan menghalau dan bisa saja ‘membunuh’ mereka yang menyentuh tubuhnya dan mengabaikan pengaduannya. Dia berharap ayahnya datang dengan cepat dan menggantikan posisi ibunya yang terus merayu dengan sebutan tampan.
“Lihat ini, bagus kan?” abangnya yang berusia sepuluh tahun juga memberikan semangat kepada Dia yang memanyumkan mulutnya. Airmata telah menjadi make-up yang membuat dirinya meleleh dalam ketampanan. Sesekali wanita itu menghapus airmata dengan telapa tangannya. Namun Dia terus mengeluarkan airmata yang mungkin saja akan menjadi mutiara seperti airmata duyung dalam dongeng senjakala.
Pria yang terasing bagi Dia mengambil gunting untuk merapikan anak-anak rambut yang berdiri kekar.
“Jangan!!!” Dia berteriak sekuat tenaga. Mencakar-cakar. Mencari perlindungan kepada ibunya yang masih saja mengeluarkan kata tampan. Di akhir tangis membara saat itu, Dia kembali memanggil ayahnya. Hati kecilnya begitu terusik karena tidak mendapat pertolongan dari wanita yang sebenarnya adalah pelukan terhangat dalam segala waktu.
“Abang, coba lihat bakso kita sudah digoreng!” seru ibunya kepada si abang. Anak dengan tubuh kurus itu melintas, menuju ke pintu, melirik ke sebelah kiri. Di sana penjual bakso goreng sore telah buka lapak dan beberapa pembeli sedang mengantri.
“Belum, Bu!” entah benar belum entah karena si abang ini tidak tahu. Saya menyeringai. Si abang ini bertanya saja tidak kepada penjual bakso bakar, bagaimana langsung mengatakan belum. Di sana antrian tiga orang terlihat dengan lelah di antara asap dan memudarnya warna bakso yang sedang dibakar.
“Nanti kita makan bakso bakar, enak kali…!” seru si abang kepada Dia yang memasang wajah marah superhero. Si abang memungut mainan yang berserak, memberikan kepada Dia. Satu dikasih, satu dilempar kembali. Dia mengerem tangis sejenak namun beranjak lagi ke nada tinggi begitu melihat pria muda itu membayangi pisau cukur di depan matanya.
“Nggak mau!!!” Dia terisak kuat. Mungkin telah menangis hampir sepuluh menit lamanya. Wanita itu menggendong Dia dan memberikan kecupan manja. Tangisnya mereda. Pria yang tampak bagai panglima perang musim dingin, mengarahkan pisau cukur ke leher dan jambang Dia. Dia meronta-ronta. Baginya, ini adalah penculikan kelas berat yang mengakibatkan fisik dibabat habis. Keterlibatan ibunya justru membuat hati kecilnya begitu teriris sampai sakit ke tulang dalam tubuh.
“Mungkin dulu saya gendong juga ya,” ujar wanita itu mengenang masa sebulan lalu – mungkin – saat memangkas rambut Dia di tempat yang sama. Dia benar-benar berhenti menangis dan mendekap dalam pelukan ibunya. Pria itu memainkan pisau cukur ke leher bagian belakang, mencukur anak rambut yang gagal masuk ke dalam mesin pembasmi.
Isak tangis Dia sudah tidak lagi terdengar. Mungkin saja telah tertidur. Pria yang tadi kerepotan karena kesibukan show tangis Dia mulai tenang menyelesaikan pekerjaannya. Anak-anak rambut yang masih berdiri dipotong dengan sekali cut. Bagian jambang yang nggak beraturan telah dibentuk secara vertikal dan dirapikan di bawah telinga. Kepala Dia tampak begitu plontos namun memesona ibunya yang memuji.
“Lihat! Tampan kan?”
Saya mengaminkan dalam hati. Overacting Dia barusan mengajarkan saya banyak hal tentang cukur rambut. Tidak hanya dia, kenapa anak kecil selalu menangis saat pangkas rambut? Dari Dia saya tahu bahwa anak kecil sejatinya tidak takut kepada alat tetapi kepada orang, si tukang pangkas.
Rayuan tukang pangkas sampai berbuih tidak mau diterimanya. Dia mencari perlindungan kepada ibunya namun tidak didapatkan sehingga memanggil ayahnya.
Dari awal Dia duduk di atas kursi panas itu, matanya tak henti melihat tukang cukur. Ke mana tangan tukang cukur ke situ pula matanya terarah. Begitu ibunya menggendong, Dia berhenti memainkan nada-nada tinggi karena show itu telah bertemu dengan titik aman.
“Bang, mau pangkas kan?” tanya tukang pangkas itu yang baru saja selesai beres-beres.
“Oh, iya!” dikira saya mau ikut akting menangis di sini!
Leave a Reply