Aceh yang Sunyi di 2000
Perjalanan dari matahari terbit sampai menjelang senja di bawah kaki Gunung Geurutee adalah kisah hidup tak terlupa di masa itu. Orang-orang yang bepergian dari kampung ke Banda Aceh sekonyong-konyong hanya membawa lembaran rupiah yang cukup untuk ongkos minibus, dan makan minum di jalan. Selebihnya, kondisi ‘mencekam’ dalam lingkaran aspal sunyi bersama nyanyian alam sekeliling. Jantung berdetak kencang, jika ada ‘mereka’ yang disebut pembela Aceh menghadang di tengah jalan.

Di dashboard mobil minibus, beberapa amplop berwarna putih dan cokelat tak lain pemandangan yang wajib ada. Surat cinta dari orang tua untuk anak-anaknya yang sedang kuliah di Banda. Sopir minibus akan menerima bayaran seadanya sebagai ongkos antar-jemput surat itu. Ikhlasnya Abang Sopir ini, akan mengantar surat tersebut ke alamat tujuan dengan tanpa tersesat.
Ada sebuah rahasia yang sama-sama diketahui oleh semua penumpang minibus tiap perjalanan dari kampung ke Banda. Abang Sopir yang tampan, dan terkadang terlihat lemah-lembut itu, menyimpan misteri yang begitu sulit ditebak. Hal yang tabu di masa kini, tetapi sangat wajar di masa itu. Abang Sopir akan menyimpan amplop putih lain di bagian tersembunyi – di dalam celana dalam, atau bagian sensitif lainnya.
Dan, jika nanti di perjalanan ada razia dari ‘mereka’ yang tidak boleh disebutkan namanya, amplop putih Abang Sopir di ‘saku’ Doraemonnya akan tetap aman. Entah bagaimana caranya.
Abang Sopir – sering kali – membawa beberapa amplop putih rahasia yang ‘hanya’ dirinya saja yang tahu letaknya. Amplop putih yang sedang dinanti-nantikan dengan penuh harap oleh mahasiswa di indekos mereka.
Memang tidak banyak, namun sangat berarti. Satu amplop putih di ‘saku’ Abang Sopir itu bisa berisi tiga ratus ribu, atau lima ratus ribu saja. Rupiah yang teramat berguna bagi mahasiswa yang jauh dari orang tua, di mana makan sekali sehari barangkali adalah nikmat surga.
Abang Sopir akan mengantar amplop putih ke depan pintu indekos. Ia akan mengetuk pintu, sedang penumpang lain masih menunggu dalam minibus dengan sabar untuk di antar ke tempat tujuan.
“Icut adalah di indekos?” Abang Sopir bertanya kepada siapa saja yang buka pintu indekos dengan dinding kayu, dan atap seng yang hampir bocor.
“Ada, Bang,” jika jawaban ‘ada’ maka Abang Sopir akan menanti Icut datang menjumpainya.
Tak ada perkataan, “Saya titip paket untuk Icut boleh?” karena amplop putih yang ada di ‘saku’ Abang Sopir tetaplah amanah dari orang tua untuk anaknya yang sedang merantau.
Jika mendapat jawaban, “Sedang kuliah, Bang,” maka Abang Sopir akan balik badan, dan berpesan akan mengantar paketnya sepulang Icut dari kampus nanti.
Teuku juga mendapatkan perlakuan yang sama jika mendapatkan kiriman amplop putih dari orang tuanya. Abang Sopir tak pernah menitipkan amplop putih kepada siapa pun, tidak pernah menyobek amplop putih tersebut untuk mengintip isinya, atau bahkan menarik selembar sebagai ongkos kirim yang tak seberapa diterimanya.
Paruh waktu yang lama. Hanya transaksi yang berbeda. Rupiah adalah rupa yang jika digunakan tetap untuk membeli asa dan rasa. Saya, dan sebagian besar mahasiswa lain di masa itu adalah penerima amplop putih dari Abang Sopir, sebulan sekali yang mustahil, tiga bulan ke depan mungkin ada hanya tiga sampai lima lembar merah saja!
Abang Sopir tiba-tiba sudah berada di depan indekos saya menjelang magrib itu. Kebetulan, saya sudah menggunakan feature phone yang tahan banting jika dilempar ke dinding. Mungkin, seminggu sebelum air mata merajalela di penjuru Aceh pada 26 Desember 2004.
“Dek, apa paket dari kampung. Apakah ada di indekos?” begitu suara Abang Sopir di seberang sana.
“Ada bang,” saya mengintip dari balik gorden yang tak pernah dicuci sejak kedatangan saya ke indekos ini di Juni 2004. Saya bergegas keluar kamar indekos, sementara handphone yang bisa diganti casing sesuka hati itu dalam posisi terisi daya.
Abang Sopir rupanya tidak percaya begitu saja. Ia menelepon ke nomor saya untuk memastikan orang yang tepat. Saya dengan alasan handphone sedang diisi daya tetap tidak bisa diterima alasannya. Saya balik ke kamar untuk mengambil ponsel. Saya balik ke minibus yang mesinnya tetap dihidupkan itu, lalu Abang Sopir menelepon saya dan saya memperlihatkan layar kecil itu dengan nomor ponsel miliknya berkedap-kedip.
Kemudian, barulah amplop putih itu berpindah tangan. Amanah yang sangat mahal harganya. Saya belajar perlindungan konsumen dari hal sepele yang diajarkan Abang Sopir dalam bertransaksi dengan benar, jauh sebelum saya mengenal transaksi perbankan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Doni P. Joewono menyampaikan reformasi ketentuan perlindungan konsumen BI. “Pertama, perlu adanya pengaturan yang harmonis mengenai perlindungan konsumen untuk keseluruhan kewenangan lembaga publik termasuk BI. Kedua, komitmen pelaksanaan perlindungan konsumen mendorong terwujudnya keyakinan konsumen (consumer confidence) dan pasar (market confidence) yang merupakan aspek penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan guna mendorong pertumbuhan yang tinggi serta berkelanjutan. Ketiga, menjadikan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan praktik terbaik internasional.” (umy.ac.id, 13/04/2021).
Bukankah Abang Sopir mengajarkan kita banyak pelajaran dari hal kecil di atas secara praktik di lapangan?
Air Bah Mengubah Segalanya
Pagi yang porak-poranda akibat gempa bumi dahsyat dan air bah besar. Pilu teramat panjang yang akan menjadi catatan sejarah sepanjang abad. Semua hal berubah di Aceh. Satu persatu yang semula tabu, tabirnya terbuka lebar, termasuk sistem perbankan yang merambah ke berbagai sektor.
Saya menjumpai Abang Sopir – angkutan umum juga sudah berganti dari minibus ke mikrobus yang mewah – di salah satu agen perjalanan dari Aceh Barat ke Banda Aceh pada 18 Agustus 2025.
“Bang, apakah masih ada orang yang titip amplop putih?”
Abang Sopir terkekeh. “15 tahun sudah tak pernah Abang jumpai lagi, orang-orang ke ATM, sekarang malah pakai handphone,”
Abang Sopir bernostalgia sesaat. “Muda Abang dulu di sini penuh amplop putih, kadang baunya tak enak lagi karena keringat tapi mahasiswa itu mana peduli yang penting kan isinya sampai,” kenang Abang Sopir sambil menunjuk ke arah celana dalamnya.
Kami berdua tertawa kecil. Tatapan mata Abang Sopir sangat jauh menerawang ke cakrawala yang hampir usai di hari itu. Saya pun mengenang masa di mana menanti amplop putih sampai pada petang hari begini.
Pulang dari terminal sempit di kota kecil kami, saya mampir ke bubur ayam yang sudah menjadi langganan pagi atau malam hari keluarga. Saya membeli bubur ayam seharga Rp15.000.
“Nggak ada uang kecil, Bang?” tanya penjual saat saya menyodorkan uang lembaran merah yang masih baru. Saya mengeleng.
“QRIS saja kalau begitu, Bang,” sarannya.
“Apakah bisa cuma Rp15.000?” saya mengerutkan kening. Transaksi sangat kecil membuat saya ragu.
“Bisa, Bang,”
Saya memindai barcode yang ditempel di dinding kaca gerobak bubur ayam itu. Transaksi saya selesai. Jadi lebih praktis dan cepat.
Sebentar lagi, saya akan mampir ke franchise ayam goreng khas Aceh untuk membeli 2 paha bawah, 1 sayap, untuk anak dan istri yang sedari tadi menunggu Ayahnya pulang dan ingin segera makan ayam. Saya mau mengakhiri transaksi lebih cepat di sini.
Saya antre di lorong yang tersedia. Sampai di depan kasir saya menyebutkan pesanan. Struk pembelian keluar dari mesin di depan kasir lalu barcodenya terpindai dengan sendirinya padahal jarak saya dengan kode tersebut sekitar panjang lengan orang dewasa dan ponsel saya dalam kondisi bergoyang. Saya berpindah ke meja sebelah dan mengambil pesanan 3 potong ayam goreng.
Saya hampir lupa, istri saya memesan pangsit yang cukup lezat di depan lorong rumah kami. Saya mampir ke sana, memesan 1 porsi pangsit, dan 1 porsi mi tanpa pedas untuk anak. Kebiasaan di sini, saya bayar menggunakan metode transfer sesama bank. Pesanan saya selesai dimasak, pembayaran pun sudah dilakukan di awal. Mudah dan murah tanpa perlu biaya tambahan.
Sepuluh menit setelah sampai di rumah, tetangga yang menyetrika pakaian kami mengantar setrikaan yang sudah rapi. “Rp110.000, Bang,”
Di dompet hanya tersimpan Rp100.000 saja dan tetangga saya ini memiliki bank berbeda, saya pun melakukan transaksi antarbank berbiaya ADM Rp2500 dengan metode Bi-Fast.
Sebenarnya, transaksi perbankan dari hal-hal kecil dan dianggap remeh sudah beredar di sekitar kita. Arah transaksi mudah dan praktis yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Di kios-kios, warung-warung kecil di sekeliling kita adalah QRIS yang aman dan di bawah pengawasan lembaga kredibel seperti Bank Indonesia.
Dengan begitu mudahnya mitra mengaktifkan QRIS, maka Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap semua transaksi keuangan yang menggunakan QRIS. Bank pelat merah tersebut menerapkan standar yang sangat ketat pada aplikasi pembayaran dan merchant dengan penggunaan kode QRIS. Konsumen akan terlindungi dengan regulasi keamanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (bankmega.com, 15/10/2024).
Dari rumah QRIS bisa berjalan dengan gesit ke puncak kejayaan. Saya tidak ingin menyebut ‘kios’ besar yang memang menggunakan transaksi secara online sejak lama. Kembali ke rumah tangga, transaksi perbankan modern ini sudah menjadi bagian yang terjadi seperti membuka fitur kamera di smartphone.
“Paket,” kurir datang dengan bungkusan yang sudah ditunggu-tunggu. Hal biasa adalah paket COD atau Cash on Delivery. Tak perlu kasih uang cash tetapi tinggal pindai kode QRIS.
Apakah ini hanya berlaku pada kalangan ibu-ibu yang ‘gila’ belanja saja? Tentu tidak. Bayangkan, saat istri saya ingin memberikan surprise di ulang tahun pernikahan kami, tiba-tiba kurir datang tepat di saat saya berada di halaman rumah.
“Paket COD, Bang,” ujar kurir. Saya langsung melakukan transaksi secara QRIS. Gagal kejutan, transaksi pun aman.
Hal-hal yang tidak rumit ada di sekitar kita, hanya saja, kita yang mau berbenah ke arah ini atau masih menunda. Coba lihat sekeliling, apakah orang-orang sudah bermigrasi ke transaksi online? Barangkali kamu yang masih tabu di saat semua tidak lagi bisu!

Leave a Reply