6 Tradisi Sebelum Puasa Aceh yang Wajib Diketahui – Selalu ingin pulang ke rumah jika bicara Ramadan. Bulan penuh berkah ini pesonanya tak pernah tertandingi di negeri kami. Ramadan di Aceh tidak hanya sebatas berpuasa sebulan penuh semata, tetapi lebih dari itu. Aroma bulan puasa sudah jauh hari tercium dan barangkali enggan untuk kembali jika melihat ini.
Daftar Isi
Suasana Ramadan di Aceh
Ramadan di Aceh menjadi sorotan yang mematikan. Masa-masa kuliah dulu, meskipun jadwal padat selalu ada rasa untuk berkumpul bersama keluarga menjelang bulan puasa. Mungkin, kebersamaan ini hanya akan kau dapatkan jika lahir di Aceh atau menikah dengan orang Aceh.
Baca Juga: |
Ibu atau Nenek saya seringkali berujar, “Tidak enak kau puasa di negeri orang,” atau dengan ujaran lain, “Meugang kau pulanglah dulu!”
Indera penciuman kami orang Aceh seolah-olah telah mencium bau Ramadan. Meugang menjadi tradisi yang tak terlupa bagi masyarakat Aceh. Tua dan muda. Anak-anak sampai dewasa. Suami dan istri. Orang tua dan anaknya. Kerabat saling bersilaturahmi. Hanya di Aceh pemandangan ini terlihat kentara sekali.
Begitu terus dan melekat sampai kini. Saya memang tidak tahu dari masa asal tradisi meugang jelang puasa Ramadan di Aceh. Orang Aceh, siapapun itu, belum ‘sah’ puasa esok hari jikalau belum makan daging meugang. Nggak cukup daging ayam, wajib daging sapi atau kerbau!
Ramadan di Aceh adalah indah dalam segala rupa. Kau akan terpesona dengan segenap rasa dan gempita yang lahir begitu saja. Meugang cuma pertanda bahwa esok kita akan berpuasa. Meski kau berkelana ke mana-mana, tradisi ini tetaplah di rindu. Karena, hanya di Aceh kau bisa menikmati makan besar, bersama keluarga, sanak famili dan kawan-kawan sebelum berpuasa.
Cukupkah meugang berlalu begitu saja? Makan-makan daging? Kunjung-mengunjungi kerabat? Tidak. Makanya, saya sebut, pesona Ramadan di Aceh tiada tara jika kau mau membandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Meugang; Makan Daging yang Banyak
Orang kurang mampu di Aceh berubah menjadi mampu saat meugang tiba. Dulu, saya masih kanak-kanak yang tidak mengetahui apa yang dirasa oleh orang tua, terutama Ayah. Orang tua akan melakukan segala cara agar bisa membeli daging meugang. Meugang itu adalah makan daging. Daging itu ‘bukan’ ayam tetapi kerbau atau sapi.
Dua hari atau sehari sebelum bulan puasa, orang Aceh akan beramai-ramai membeli daging kerbau atau sapi. Di seluruh kampung akan tercium bau masakan dengan rempah pilihan untuk memasak daging. Ibu pernah berkata kepada saya, “Setengah kilo saja kau beli nggak apa, asalkan ada daging meugang kali ini!”
Dan, saya baru benar-benar merasa perputaran waktu itu terjadi begitu saja. Orang-orang yang telah dewasa, terutama mereka yang sudah berkeluarga, akan mencari ‘upah’ di mana rezeki bisa digais, untuk membawa pulang setengah kilo daging saja – tak apa.
Bau kuah daging saat di atas kompor luar biasa menyengat. Kau tahu hal itu. Orang tua di Aceh punya prinsip yang demikian; dapur tetangga ada asap daging meugang, dapur rumah sendiri juga demikian! Nggak peduli berapa berat timbangan saat membeli daging meugang ini, dan tidak ada yang tanya berapa banyak kau beli daging meugang?
Tiap rumah di Aceh akan mengepul asap daging meugang. Meskipun atap rumbia dengan dinding papan yang sudah lapuk, daging meugang dengan harga Rp 180.000 perkilo – harga tahun ini – tetap dibeli.
Saya sendiri bisa merinding membayangkan bagaimana orang tua di Aceh mendapatkan daging meugang. Begitulah perjuangan orang tua saya dulu, orang tua kita, untuk membuat anak-anak mereka makan enak sebelum berpuasa Ramadan.
Makan daging meugang tentu makan enak di Aceh. Saya tahu, saya juga yakin, kerabat di kampung ‘hanya’ mau membeli daging saat meugang saja. Jika mereka makan daging lain kali adalah di rumah orang pesta atau tidak sama sekali.
Itulah nikmatnya daging meugang yang tidak bisa diganti dengan apapun, “Setahun bekerja untuk ibadah satu bulan!” Ibu saya sering berkata demikian. Mungkin benar, sekilo daging meugang tidak ada apa-apa dibanding setahun lewat. Entah bagaimana dan apa yang terjadi, orang-orang Aceh menjadikan tradisi meugang sebagai sarana untuk makan besar atau makan enak bersama keluarga tercinta. Mau tidak mau!
Meugang Penganti Baru
Menikah dengan gadis Aceh tidak cuma soal mahar yang mahal. Tradisi tidak bisa ditebang dengan pedang setajam apapun. Aceh tetap Aceh dengan cita rasa dan beda yang bangga. Perbedaan ini yang menjadikan orang suka dengan gairah di Aceh.
Demikian pula soal meugang bagi penganti baru di Aceh. Tradisi ini menarik dan unik bagi saya. Jelang Ramadan adalah waktu yang sibuk sekali bagi pengantin baru. Pria maupun wanita. Keduanya sama-sama memberi dan menerima.
Pengantin wanita akan mengantarkan kue khas Aceh untuk meugang – dan juga kue lebaran nantinya. Kue ini tidak cukup satu atau dua talam saja. Kue khas Aceh berupa karah, kue pret dan lain-lain ini disusun rapi dalam idang yang kemudian dihias indah.
Kue dalam idang ini kemudian diantar oleh orang tua pengantin wanita ke rumah pengantin pria. Kue-kue ini menjadi sebuah tradisi yang ‘wajib’ dipenuhi oleh pengantin wanita di Aceh. Entah siapa yang menikah nantinya, tradisi ini tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Ada memberi, ada pula menerima. Pengantin pria akan membawa pulang daging dalam jumlah banyak ke rumah mertua. Daging itu bisa berupa kepala maupun sebelah kaki kerbau. Tradisi ini juga sudah terjadi sejak dulu dan menjadi fenomena yang sulit dihapus di Aceh.
Pengantin pria mau tidak mau, sanggup ataupun tidak, ‘wajib’ mengantar daging meugang ke rumah mertua. Tandanya, puasa akan jadi esok hari!
Kesibukan pengantin baru di Aceh tidak berhenti di antara kue dan daging meugang semata. Pengantin baru ini akan bersilaturahmi ke rumah saudara kedua belah pihak, sekadar untuk ‘mengenalkan’ kembali pasangan masing-masing kepada saudara.
Bisa dibayangkan betapa repotnya pengantin baru di Aceh dengan makan tape ketan, lemang sampai daging meugang di banyak rumah saudara. Namun, ini hanya terjadi sekali seumur hidup. Dilalui membawa kebahagiaan tersendiri, tidak dilewati mungkin akan ‘diminta’ suatu saat nanti yang tidak mungkin terealisasikan kembali.
Meugang Orang-orang Aceh
Meugang orang-orang Aceh tidak hanya sebatas makan daging semata. Tape ketan maupun lemang adalah menu lain yang tidak boleh dilewatkan. Biasanya, dua hari sebelum puasa, perempuan Aceh akan sibuk membuat tape ketan dan juga lemang.
Daging, tape ketan, dan lemang tak lain perpaduan yang benar-benar ‘menggoda’ rasa untuk orang yang mencicipinya. Namun, kata orang Aceh, “Setahun sekali,” adalah waktu untuk makan enak ini.
Di rumah mana saja kau singgah untuk silaturahmi sebelum bulan puasa, kau akan dihidangkan tiga menu itu. Kau tak boleh menawar. Tidak pula merasa iba dan kasihan karena kerabat yang dikunjungi kurang mampu. Tuan rumah sungguh akan senang jika kau mencicipi hidangan yang diberikan.
Ramadan di Aceh artinya kau harus melewati meugang. Tradisi ini hampir mirip dengan lebaran. Silaturahmi ke rumah kerabat. Mengunjungi orang tua dengan menenteng tiga menu tadi. Ketuk rumah tetangga sekadar makan satu bungkus tape. Semua itu dilakukan oleh orang-orang Aceh.
Nggak ada orang Aceh yang tidak menikmati momen ini. Orang tua akan bersedih bila anaknya tidak pulang di hari meugang. Mertua akan mencemooh menantu laki-laki jika tidak membawa pulang daging meugang. Mulut terasa hambar sebelum mengunyah tape ketan atau lemang.
Semuanya itu berlalu begitu saja. Sejak saya lahir sampai merasakan degup jantung pasar di hari meugang, momentum itu dirayakan oleh orang-orang Aceh. Jika kau tanya lagi kenapa, saya tidak tahu. Bahkan, orang-orang Aceh akan menitikkan airmata bila tidak membeli daging meugang!
Kita lepaskan meugang yang berlalu. Ramadan di Aceh pesonanya sangat berbeda. Semarak yang saya sebutkan di atas adalah keacehan yang sampai kapan pun tidak mudah dilupa. Saya berdiri di tengah-tengah masyarakat Aceh yang benar mencintai Ramadan dengan caranya tersendiri.
Serambi Mekkah memang julukan untuk Aceh. Syariat Islam adalah dasar hukum di negeri ini. Ragam pendapat yang membenarkan, bahkan menjatuhkan nama Aceh tidak lantas membuat negeri Teuku Umar ini terkucilkan.
Aceh tetap kuat dengan keislamannya. Kau tak akan tahu seperti apa Ramadan di Aceh sebelum sehari saja bersama kami. Bau Ramadan telah tercium sejak hari meugang pertama. Tak lama setelah itu adalah berpuasa dengan sukacita.
Adalah malam pertama salat tarawih di bulan Ramadan menjadi sebuah momen yang tak terlupakan. Lepas pulang dari rumah saudara; makan tape ketan dan lemang, serta kenyang dengan daging, akan terburu-buru ke masjid kampung untuk ‘mengucapkan salam’ kepada Ramadan.
Tarawih 20 Rakaat atau 8 Rakaat
Kau mungkin sedikit merasa aneh dengan tabiat beberapa anak muda. Tidak hanya di Aceh. Mungkin di tempat lain juga, yang saya tidak ketahui.
Salat tarawih adalah pesona Ramadan yang tak pernah terabaikan. Tarawih dan puasa sebulan penuh hanya ada di bulan Ramadan dan itu keberkahan untuk umat Islam.
Demikian pula soal salat tarawih yang memicu perdebatan panjang. Namun, bagi kaum muda di Aceh ini adalah di mana waktu salat paling cepat, di sanalah kaki akan melangkah. Fenomena ini menjadi kebiasaan yang terus terjadi begitu saja dan masjid yang cepat waktu salat tarawihnya akan ‘penuh’ hampir tiap malam.
Itu kebiasaan mutlak yang menjadi kerinduan tersendiri. Perdebatan yang sebenarnya alot adalah soal rakaat tarawih antara 20 rakaat atau 8 rakaat.
Beberapa masjid di Aceh terkenal memilah rakaat salat tarawih ini. Jadi, ada imam yang salat 8 rakaat dilanjutkan dengan 3 rakaat witir, lalu dilanjutkan oleh imam lain dengan 20 rakaat dengan 3 rakaat witir.
Meskipun perbedaan kentara sekali di Aceh soal rakaat salat tarawih ini, tidak pula menimbulkan perdebatan panjang sampai ‘tawuran’ untuk mempertahankan ide. Ulama di Aceh membenahi sistem, memberikan solusi sehingga masyarakat Aceh menerima perbedaan ini dengan mudah.
Jadi, kau akan mudah sekali menemui orang-orang Aceh salat tarawih 8 rakaat sampai 20 rakaat, walaupun di masjid yang sama.
Pinggir Jalan Milik Penjual Takjil
Ramainya di Aceh saat bulan puasa tidak sama dengan bulan lain. Penjual takjil atau menu berbuka puasa hampir di seluruh Aceh adalah sama. Boleh saya sebut ini pedagang musiman; selain dari mereka yang benar-benar menjual kue harian di bulan lain.
Entah siapa menjual kelapa muda atau es campur di pinggir jalan di Aceh, adalah pemandangan yang wajar. Kau akan menemui mereka di mana-mana dengan berbagai rasa dan aroma.
Sepanjang jalan adalah kenikmatan tersendiri menyaksikan orang-orang berjualan takjil. Mungkin, kita berpikir bahwa nggak mungkin ada yang beli sebanyak itu. Tetapi, nama juga rezeki yang diatur untuk mereka yang berusaha, selalu saja ‘laku’ takjil tersebut.
Jalanan yang biasanya sepi di sore hari dari sehabis Ashar sampai jelang berbuka, padat oleh mereka yang mencari takjil. Semua dibiarkan begitu saja. Tidak ada orang yang menyebut telah merusak tatanan kota, karena itu adalah pemandangan ‘indah’ sementara waktu.
Lepas Ramadan, semua itu sirna. Orang-orang Aceh yang berpuasa juga menikmati pemandangan tersebut. Meskipun cuma melewati saja tanpa membeli, penjual takjil yang memberi senyum menjadi pelepas lelah seharian menahan haus dan lapar.
Sumber: tagar.idIstilah ngabuburit mungkin saja tidak populer di Aceh. Masyarakat Aceh yang sudah melakukan aktivitas itu menyebut ‘ajak main puasa’ sampai waktu berbuka. Ibu saya sering berujar demikian.
Sewaktu kecil kita sering mengeluh lama sekali waktu berbuka. Biasanya, Ayah mengajak ‘ngabuburit’ dan melihat orang berjualan takjil. Ada yang dibeli dan ada pula yang tidak. Orang yang jualan juga tidak dikenal seperti penjual biasanya.
Sampai sekarang, saya masih penasaran dengan orang yang berjualan di pinggir jalan selama bulan Ramadan. Namun, saya juga tidak tahu jawaban apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk itu. Kemudian, saya mengikuti irama, menikmati pemandangan itu selama bulan puasa, dan berujar, “Begitulah pintu rezeki dibuka selebar-lebarnya di bulan Ramadan!”
Kue Lebaran Buatan Sendiri
Di Aceh, kebiasaan makan opor ayam dan lontong barangkali belum seperti di daerah lain. Orang tua di Aceh terbiasa membuat kue khas Aceh saat lebaran; walaupun tidak lagi ‘laku’ saat disuguhkan ke hadapan orang berlebaran.
Saya masih melihat perempuan Aceh membuat kue karah maupun lainnya beberapa hari menjelang idulfitri. Saya pernah berujar ke Ibu, “Buat apa kue karah? Nggak ada yang makan juga!”
Ibu saya melotot, “Kau seharusnya bangga dengan kue karah!” – maksud Ibu kue khas Aceh. Jika saya pertimbangkan lagi, kue karah dan jenis kue khas Aceh lain memang dibuat saat lebaran begini.
Mulailah sibuk perempuan-perempuan Aceh membuat kue khas Aceh. Pergeseran mungkin telah terjadi beberapa tahun ke belakang. Orang membeli kue kering atau jenis kacang-kacangan yang lebih enak dimakan. Namun, orang tua kami di kampung tetap ngotot untuk membuat kue karah dan kerabatnya.
Kembali ke pengantin wanita. Setelah kue meugang, dikenal pula kue lebaran yang diantar paling telat di malam takbiran. Kue-kue kering khas Aceh ini menjadi ‘cinderamata’ pengantin wanita kepada mertuanya. Idang berisi kue ini hanya sekali seumur hidup diantarkan ke rumah mertua yaitu idulfitri di tahun pertama pernikahan.
Kue lebaran buatan sendiri yang ketinggalan zaman memang tidak ‘enak’ jika dibandingkan dengan kue modern. Tradisi yang enggan ditinggal, kekayaan daerah yang tidak mau dilupa, membuat nenek-nenek di kampung berani ‘mengebiri’ anak muda yang memprotesnya.
Anak perempuan yang tidak bisa membuat kue karah bisa disebut telah menanggal keacehannya. Orang tua kita memang begitu kuat dalam memegang tradisi sehingga tumbuh sampai kini, dan dikenal orang banyak sebagai pembeda antara satu suku dengan suku lain.
Kebiasaan membuat kue khas Aceh jelang idulfitri membuat saya bersyukur bahwa cita rasa dan ciri khas Aceh masih melekat di masyarakat kita.
Ramadan yang berlalu di Aceh akan meninggalkan serpihan kenangan. Maka, saya bilang Aceh berbeda dari berbagai cara memandangnya. Segenap rindu di perantauan akan tercipta begitu saja jika mengenai puasa di Aceh.
Leave a Reply