Tanah Suci

Jikalau Mungkin Izinkan Aku Mencium Lantai Bercahaya di Rumah-Mu

Aku ingin bercerita tentang cita-cita dan juga sebuah asa. Nenekku sendiri, Sapiah, di cerita yang pernah kutulis di sini sangat banyak menginspirasi kami semua. Tahun 2017, Sapiah berangkat ke tanah suci setelah sekian tahun menabung. Mungkin sejak 2009, ia menabung selembar demi selembar agar bisa berangkat ke Tanah Suci.

Jerih yang terjawab sudah. Panggilan-Nya memang tidak bisa ditebak. Sapiah sebenarnya mendapat kuota di tahun 2018 tetapi Allah berkehendak lain. Berkat penambahan kuota dari Kementerian Agama tahun 2017, nenek kami berhasil berangkat lebih awal. Namun bukan itu yang menarik. Cita-cita dirinya untuk sampai ke Rumah Allah diikuti dengan usaha yang tak kunjung usai.

Sapiah adalah seorang pekerja keras. Sejak bertekad ke Mekah, ia tak pernah berhenti menganyam tudung saji. Dalam sehari mungkin bisa sampai 3 atau 5 buah dalam ukuran kecil, sedang, dan juga besar. Dari sini pula ia mengumpulkan tabungan untuk naik haji. Aku yakin tidak mudah. Ditambah beberapa tahun sebelum keberangkatan, ia menderita stroke yang cukup berat.

Kami bersedih untuk itu. Kami pikir, ia mungkin tidak akan sanggup lagi berangkat untuk memenuhi panggilan-Nya. Pengobatan ke sana-sini cukup melelahkan, ditambah lagi telinganya yang kurang bersahabat. Setahun sebelum berangkat, ia benar-benar jatuh dan tidak bisa bergerak sama sekali. Apa yang kami ucapkan, ia tidak mendengar sedikit pun.

Sapiah berobat ke beberapa tempat. Perlahan, pulihnya datang. Kami bernapas lega karena ia mematahkan duka dalam dirinya untuk bisa bergerak lebih cepat. Dibantu tongkat usang ke mana-mana, ia menebar senyum yang pasti.

Aku tidak tahu kapan tepatnya, begitu mendengar namanya dipanggil untuk berangkat di tahun 2017, Sapiah seketika bisa berjalan dengan normal. Manasik haji yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Kabupaten Aceh Barat ia lakoni dengan serius dan tidak absen sehari saja. Benar juga akhirnya, bahwa panggilan dari Allah itu menumbuhkan rasa berjuta yang tidak mungkin aku jabarkan.

Sapiah berangkat haji tahun itu. Kami semua tentu khawatir melepas dirinya yang berjalan saja sangat tertatih, mendengar suara keras pun sudah tidak bisa. Memang, alat bantu pendengaran telah dipasang tetapi kadang risih untuk memakainya.

Kami berserah. Cuma itu. Airmata yang keluar adalah pundi-pundi kebahagiaan. Aku yakin sekali nenek kami akan baik-baik saja selama di Arab Saudi!

Penantian yang panjang bagi kami. Kami menanti kabar. Hanya secuil kisah yang didapatkan. Tiba di hari kepulangan. Haru tak terduga untuk semua yang menantinya sekian lama. Sapiah lantas bercerita, tak ada waktunya untuk risau. Langkahnya yang tertatih langsung gagah setiba di Mekah. Pendengarannya yang sulit, langsung jernih saat mendengar azan di sana. Bahkan, alat bantu pendengaran yang membuat dirinya tidak bisa mendengar.

Semua tentang Sapiah menjadi kenangan dan motivasi untuk kami. Ia mewakili untaian semangat yang merebak ke sanubari untuk kami. Aku akan selalu mengenang setiap kalimat dan usaha yang ia lakukan sehingga sampai ke Tanah Suci.

Al-fatihah untuk nenek kami yang baru saja berpulang ke hadapan-Nya. Segenap pelajaran tentang haji kami jadikan pedoman, bahwa dengan usaha dan ikhlas tidak ada yang nggak mungkin jika Allah sudah berkehendak!

Cerita Itu Berlanjut Kini

Aku pernah berkata kepada Ibu, jikalau haji pun tak bisa karena kuota yang lama menanti, umrah pun tak apa. Ibu waktu itu cuma berlinang airmata, ia menatap keseharian kami yang pergi ke sawah dan tak ada asa untuk melakukan apapun.

Aku yang masih guru honorer kian hari dipandang sebelah mata. Ke ibu kota provinsi, Banda Aceh, saja mungkin harus ditatih agar bisa sampai ke sana. Sesulit itu perekonomian keluarga kami. Ibu memandangku dalam sorot sendu yang mungkin sedang menjawab bahwa semua itu semu.

“Ada makan saja sudah lebih dari cukup, Nak,” benar. Kami bersyukur masih bisa makan sehari tiga kali meskipun lauknya cuma daun ubi rebus. Orang lain mungkin saja cuma makan sehari sekali dari belas kasihan orang lain.

“Bukankah kita harus bercita-cita?” tanyaku.

“Tak ada yang larang cita-cita kau. Tinggikan saja, namun saat terjatuh dan sakit janganlah kau menangis!”

Di suatu senja beberapa tahun kemudian, aku memperlihatkan print-out tiket pesawat pulang pergi dari Banda Aceh Jakarta, Jakarta Lombok, Lombok Jakarta dan Jakarta Banda Aceh.

Nggak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak.

Ibu menahan isak tangis yang panjang. Anaknya, seorang guru honorer, tidak bersawah, cuma duduk di depan laptop tiap saat; tiba-tiba naik pesawat gratis ke negeri jauh yang tak pernah terpikirkan olehnya sama sekali!

Aku membulatkan tekad setelah itu. Guru honorer masih kucatat sebagai ‘identitas’ dengan pakaian rapi tiap hari. Namun, sematan lain mesti kuletakkan lebih tebal ke manapun aku pergi.

Aku penulis.

Aku blogger.

Dan aku ‘akan’ bisa ke mana-mana karena menulis; bukan sebagai guru honorer yang honornya pun kapan bulan purnama terbit.

Aku tetap mengajar. Tidak pernah melepas tanggung jawab sebagai guru. Pulang sekolah kuhabiskan waktu di warung kopi untuk mencari celah menulis, ikut lomba dan memperbanyak jaringan dengan sesama blogger.

Aku ke Jakarta; tidak lagi cuma transit. Aku ke Bali; bukan lagi sebatas angan. Aku ke Bandung; yang dari dulu ingin kujejaki.

Semua itu mungkin. Hanya waktu saja yang menjawab tantangan itu.

Ke Tanah Suci Juga Mungkin

Ilmu yang paling berharga dari Sapiah adalah usahanya mencapai Tanah Suci. Dirinya yang telah sepuh, dalam riwayat stoke berat, dan juga pendengaran tidak bagus, sampai sudah ke Mekah atas seizin-Nya.

Mungkin, saat ini usahaku belum setingkat Sapiah. Mungkin aku masih main-main. Mungkin aku tidak melakukan apa yang menjadi prioritas utama. Atau, mungkin ada yang harus aku segerakan sebelum terbang ke rumah Allah.

Satu pertanyaan terjawab di tahun 2020. Aku memulai kehidupan baru dengan orang yang tepat. Soal jodoh aku percaya itu. Allah tidak akan mengetuk pintu hati manusia untuk menikah sebelum bertemu orang yang benar-benar tepat. Tulang rusuk itu benar harus disatukan sesuai posisinya.

Perjalanan panjang ke Tanah Suci mungkin akan lebih lama. Rumah tangga yang terbilang baru, banyak datang masalah kecil yang berubah menjadi besar. Aku dituntut lebih sabar dan menguatkan hati bahwa perkara ini bukan main-main.

“Kalau ada rezeki kita pergi umrah ya,” ujar istriku suatu ketika.

“Kita usaha dan berdoa lebih tinggi lagi,” ujarku.

Usaha dan doa kami dikabulkan satu persatu. Meski statusku masih guru honorer, penghasilan lain dari menulis blog cukup menutupi dapur rumah kami. Gaji istri kami simpan untuk kebutuhan keluarga kecil kami yang baru saja terbentuk.

Cita-cita umrah itu mungkin sedikit terlupakan saat kami menanti buah hati. Aku mengerahkan semua senjata agar ibu dan bayi yang dikandung mendapatkan asupan makanan terbaik. Aku sering protektif terhadap sesuatu karena rasa khawatir yang berlimpah.

Namun, lepas dari itu semua. Istri akan berujar tiap hari, “Ada PR menulis hari ini?” aku langsung membuka catatan di smartphone dan melihat deadline mana yang harus disegerakan.

“Teruslah menulis, kita nggak akan tahu ke mana langkah akan bermuara karena ini!” itulah kenapa harus menunggu momentum. Ketika sendiri, aku bahkan bisa melewatkan beberapa deadline tulisan karena lupa atau malas dikerjakan. Saat sudah berdua, semua dilimpahkan dalam satu kesatuan yang kemudian saling mengingatkan satu sama lain.

Allah tahu bahwa aku harus mendapatkan prioritas utama sebelum menggenapkan cita-cita lain. Dengan menikah pula, pintu rezeki dari menulis blog walaupun sedikit demi sedikit mampu membuat kami bernapas lega.

Aku tetap pergi sekolah. Asa yang menjadi lara kubiarkan begitu saja. “Nggak ada yang tahu ke depannya bagaimana,” semangat dari istri membuatku tidak patah semangat.

Di rumah aku menulis untuk kehidupan kami lebih bergairah. Dan umrah masih menjadi cerita ringan saat kami berbagi cerita.

“Siapa tahu dari menulis bisa berangkat ke Mekah,” ujar istriku dalam optimis. Aku tidak menyangkal. Memang tidak langsung hari ini juga itu terjadi.

Aku ingin ke Bandung sejak kuliah di periode 2007. Tahun 2019 baru sempat singgah ke kota ini. Cukup jauh penantian dan mungkin hampir lupa soal Kota Bandung.

Demikian juga tentang umrah ini. Dalam niat yang tulus, usaha dari menulis dan membagikan kisah inspiratif untuk banyak orang, aku yakin bisa ke Tanah Suci dengan jalannya sendiri nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *