Sunrise dan Sunset Lombok dari Rinjani ke Senggigi

Sunrise dan Sunset Lombok dari Rinjani ke Senggigi – Sebuah keberuntungan bisa datang dari mana saja. Belum lama ini saya berkunjung ke salah satu pulau yang sedang dipamerkan menjadi salah satu alternatif wisata bahari di bagian timur Indonesia.

Sunrise dan Sunset Lombok

Kepulauan Lombok memang belum sefenomenal Bali yang sudah dikenal secara global, namun para wisatawan domestik maupun mancanegara sudah berpaling ke Nusa Tenggara Barat ini, terutama pada puncak Rinjani, tepi pantai Senggigi maupun anak pulau Gili Terawangan. Sayangnya, saya hanya sampai ke Rinjani dan Senggigi.

Perjalanan dalam jarak sangat jauh bagi saya secara pribadi. Jarak Banda Aceh menuju Jakarta saja ditempuh dalam waktu 2 jam. Jarak dari Jakarta ke Lombok juga ditempuh dalam waktu 2 jam perjalanan udara.

Karena saya “dibawa” orang dan tidak ada keterangan secara gamblang berapa biaya perjalanan ini, saya memutuskan mencari tahu harga tiket pulang pergi seandainya saya berangkat dengan biaya sendiri dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Praya setelah transit dua kali di Bandara Kualanamu dan Bandara Soekarno-Hatta.

Secara kasar, biaya perjalanan ini mencapai lebih kurang 5 juta dengan menggunakan pesawat kelas ekonomi yang sering dikomplain keprofesionalannya ini. Saya membenarkan anggapan tersebut, selain transit juga mengalami delay yang memakan waktu lama.

Puncak Rinjani merupakan salah satu gunung yang diidam-idamkan para pendaki. Karena dalam agenda kami tidak mendaki gunung tersebut, saya cukup berpuas diri dengan menikmati lembah Rinjani saja di dataran dingin Sembalun.

Daerah Sembalun ini merupakan salah satu daerah di kepulauan yang dikenal dengan ribuan masjid ini sebagai daerah basis kekuatan Islam. Benar saja, di mana-mana saya mendapatkan perempuan mengenakan penutup kepala, sama halnya dengan di Aceh.

Berangkat dari lembah Rinjani yang dingin, kami menuju ke daerah Mandar, masih di daerah Lombok Timur. Menikmati Mandar yang berada di pesisir membuat saya terasa sedang berada di daerah sendiri. Mandar menyisakan perpaduan antara kehidupan modern dan tradisional.

Di satu sisi masyarakat masih mengamalkan Islam dengan sebenarnya, dalam arti hanya penampilan luarnya saja, di sisi lain mereka bahkan mengabaikan panggilan ibadah lima waktu padahal rumahnya sangat dekat sekali dengan masjid.

Pagi hari di Mandar tidak sedingin di Sembalun. Mungkin saja, karena cuaca sedang memihak, kami bergegas menuju Pelabuhan Balohan untuk mengejar matahari terbit. Pelabuhan di Mandar ini merupakan salah satu pelabuhan besar bagi nelayan setempat.

Matahari yang merangkak cepat di antara peluh pekerja keras yang baru pulang melaut dengan hasil tanggapan harga jutaan rupiah. Pemandangan yang biasa barangkali bagi saya yang hidup dilingkungan seperti ini.

Namun perbedaan yang mencolok, para perempuan ikut menanti nelayan pulang melaut untuk mendapatkan ikan-ikan kecil yang kemudian akan dijadikan ikan asin. Para nelayan memang menjaring ikan-ikan kecil untuk dijual kepada perempuan Mandar ini.

Sunrise di Mandar tetap sama ya? Saya pikir beda tempat akan berbeda penampilan matahari terbit ini. Matahari bulat naik perlahan menuju puncak tertinggi. Hiruk-pikuk aktivitas di Mandar tetap meriah. Mereka sudah terbiasa dengan matahari yang mengintip kegiatan melaut ini.

Sendainya bisa saya gambarkan, barangkali saya akan membuat bulatan besar lantas menggaris senyum pada bulatan tersebut. Begitulah. Matahari yang sama dengan matahari yang membuat kulit saya gelap di Aceh.

 

 

 

 

Dari Mandar, meninggalkan sunrise yang terlebih dahulu meninggalkan jejaknya, kami berangkat ke daerah Lombok Barat, menuju Mataram, lalu ke Senggigi yang megah. Perjalanan ini memakan waktu lebih kurang 2 jam lebih.

Senggigi, salah satu tujuan wisata di kepulauan ini. Senggigi terletak dalam jarak yang cukup dekat dengan ibu kota provinsi NTB. Sepanjang jalan menuju Senggigi sudah berdiri penginapan, diskotik maupun café-café dengan tata hias yang menarik. Pemandangan ini akan kita temui sampai ke bibir pantai Senggigi.

Kelihatannya, pemerintah daerah setempat sudah mensiasati daerah ini sebagai tujuan wisata. Karena saya berangkat dalam rombongan yang sudah dibiayai, biaya penginapan pun tidak saya ketahui dengan jelas. Paling tidak akan terjangkau dengan kantong pelancong.

Menanti sunset di Senggigi menjadi topik yang menarik. Sebenarnya, matahari terbenam di mana-mana tetap sama. Kami sampai di Senggigi sekitar pukul 5 lebih beberapa menit. Perbedaan waktu yang cukup signifikan bagi saya sendiri. Saya masih tetap ngotot menggunakan waktu Aceh padahal selang waktu dengan Lombok kurang lebih 2 jam. Menanti matahari terbenam selalu menyisakan kenangan tak terhingga bagi saya.

Senggigi yang menghadap ke laut lepas tidak hanya menampilkan lukisan alam lautan lepas saja. Di depan mata memandang, Pulau Bali membentuk segitiga. Inilah yang membuat menarik pandangan mata. Matahari menukik di atas pulau yang digandrungi banyak wisatawan.

Perlahan-lahan matahari membawa harapan bahagia dan duka pada sebuah harapan. Di atas pulau Bali – entah apa yang sedang terjadi di sana – matahari membawa serta bongkahan keemasan. Walaupun di hari saya ke sana sedikit mendung, tetapi tidak tertutup keinginan kami untuk menikmati terbenamnya matahari di Pulau Lombok ini.

Para wisatawan mancanegara dengan gagahnya berjemur hanya dengan mengenakan underwear saja, sambil membaca sebuah buku. Tentu saja, pemandangan seperti itu tidak akan pernah saya dapatkan di Aceh yang memberlakukan Syariat Islam.

 

 

 

 

 

Lombok, pulau yang sedang menanjak masa remaja ini akan berbenah dalam rangka menciptakan harmoni terstruktur akan ranah pariwisata yang mendatangkan devisa tidak sedikit. Anda tertarik? Silahkan berkunjung dan dinikmati suguhan menarik selama sana!
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *