Suami Pemarah Cerai Istri Mandul Padahal Dirinya yang Selingkuh – “Aku ingin memiliki keturunan setelah menikah, sama halnya dengan perempuan lain di kampung kami. Aku telah memberikan yang terbaik kepada laki-laki itu. Orang yang enggan kusebut namanya sekarang ini!”
Suami Pemarah Cerai Istri Mandul
“Usia pernikahan kami beranjak sangat cepat dalam hitungan hari sampai melewati tahun. Aku semakin merasakan ketidaknyamanan berada di antara gusar dan gelisah setiap hari. Bangun tidur aku merasakan beban yang teramat luar biasa. Menjelang malam, tidurku tidak pernah tenang sebelum laki-laki yang kusebut suami pulang dan berbaring di sampingku. Tetapi, seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya bisa bermanja dengan dinding putih, lampu temaram, suara jengkrik, dan angin malam yang membuat bulu kuduknya merinding.”
Namanya Rosanti, sebut saja Anti. Anti seorang tenaga honorer di salah satu sekolah negeri. Usia Anti memasuki 27 tahun pada tahun ini. Usia pernikahan mereka memasuki 5 tahun. Tetapi Anti sama sekali tidak menemukan keteduhan dari bahasa verbal maupun nonverbal dari Imran, laki-laki yang kini disebut dan dipamerkan sebagai suami.
Entah apa yang terjadi setelah seminggu pernikahan mereka, Imran tidak lagi mengubris Anti sebagai istri. Imran hanya ingat Anti saat kebutuhan biologisnya harus terpenuhi, selebihnya Imran merayap ke seluruh penjuru kampung mereka yang tidak diketahui tepatnya.
Sebait tanya saja terlontar, Imran akan berang. Lebih sering Imran melukai Anti dalam diamnya, sebelum pergi dengan membanting pintu.
Malam-malam setelah pertengkaran mereka, Anti akan menghiasi malam seorang diri. Imran tidak pulang walaupun berkali-kali Anti kirimi pesan singkat di tengah malam buta. Saat dihubungi nomor ponselnya, Imran malah mengalihkan panggilan sehingga Anti terkulai dalam gundah sepanjang malam.
Mereka tinggal berdua di kampung Imran. Rumah mereka – tepatnya rumah Imran – berjarak satu kilometer dengan rumah penduduk lain. Apapun yang terjadi di rumah tangga mereka tidak akan ada seorang pun yang mengetahuinya.
Imran tidak pernah bermain tangan begitu mereka perang mulut. Kata-kata yang keluar dari mulut Imran, bahkan lebih perih dibandingkan tergores silet tajam.
Ketakutan Anti beralasan di malam sunyi. Anti tidak mampu berjalan keluar rumah karena malam membutakan pandangannya. Anti terlahir sebagai perempuan, masyarakat akan melihatnya tidak bermakna jika langkahnya menyusuri jalan ke rumah orang tua yang jauhnya sekitar 20 kilometer.
Siapa pun orang pasti akan memiliki teman bahkan sahabat. Imran juga memiliki sahabat tanpa Anti kenali watak mereka. Jika terjadi pertikaian di dalam rumah, Imran akan pergi menemui sahabat-sahabatnya.
Bukan tidak pernah Anti mengajak Imran mendiskusikan hal ini. Bagi Anti, setelah menikah, istri memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada sahabat. Waktu 24 jam bisa dihabiskan sedikit saja bersama sahabat, selebihnya hanya untuk Anti, mendalami rasa cinta yang dulu pernah mengayun langkah membina rumah tangga.
Sering kali Anti melihat Imran bercengkrama bersama sahabat-sahabatnya melalui telepon. Salah seorang sahabat Imran, Budi, merupakan laki-laki muda tanpa tanggung jawab apa-apa.
Budi sering sekali berkunjung ke rumah, makan masakan yang dimasak Anti dengan uangnya sendiri, tidur di depan televisi dengan celana pendek bahkan telanjang dada, meninggalkan baju kotor di rumah mereka sampai-sampai uang jajannya berani diminta kepada Imran.
Imran tidak pernah menolak kehadiran Budi. Di antara sahabatnya yang lain, Budi satu-satunya pembuat onar dalam keluarga Anti. Imran sering menghabiskan waktu bersama Budi, ke mana-mana mereka berdua saja tanpa beban apa-apa.
Budi masih lajang, wajar saja tidak memikirkan apa-apa dalam hidupnya. Tetapi Imran, memiliki seorang istri di rumah yang wajib dipenuhi nafkah lahir dan batin. Imran lupa memberikan Anti uang jajan atau uang membeli kebutuhan rumah tangga kami.
Imran hanya menerima nasi dan lauk sudah tersedia di meja makan. Imran hanya akan menyentuh Anti saat batinnya membutuhkan sentuhan lembut seorang perempuan!.
Anti melihat sendiri, Budi tidak pernah merasa bahwa Imran sedang dalam status pernikahan. Tanpa kenal waktu Budi mengajak Imran ke tempat-tempat kesukaan mereka. Imran ikut saja karena dia merasa lebih tenang bersama Budi di hari-harinya.
Kebutuhan finansial Budi pun dipenuhi Imran tanpa pamrih; selain uang jajan, Imran mengirimi pulsa untuk keperluan komunikasi Budi. Sekali saja Anti meminta pulsa misalnya, Imran hanya memberikan isyarat dompetnya sedang kosong.
Imran membuat hidupnya bagai seorang lajang, tak memiliki tanggung jawab sama sekali. Di tengah petir maupun hujan lebat, Imran lebih memilih Budi maupun sahabatnya yang lain di warung kopi. Saat hujan reda, pintu rumah mereka tidak terbuka sampai pagi.
Imran akan pulang saat perutnya kosong, bahkan lagi-lagi membawa serta Budi. Pagi yang dingin, di antara tatapan mata tajam Imran, Anti menyiapkan sarapan untuk tiga orang. Nasi putih saja tidak cukup terhidang di meja makan tanpa disertai lauk.
Nasi dan lauk tidak cukup membuat Imran senang, Anti harus meletakkan gelas berisi air putih di hadapannya. Padahal, ceret dengan air putih sudah berada di atas meja, tinggal Imran mengambil gelas tak jauh dari duduknya.
Anti menghidangkan semua kebutuhan Imran sesuai keinginannya. Dari mana Anti mendapatkan uang membeli kebutuhan rumah tangga mereka, Imran tidak mau tahu. Sebagai tenaga honorer Anti tidak memiliki jatah gaji perbulan.
Seringkali Anti menerima hasil keringat di bulan ketiga dengan jumlah tak lebih dari satu juta rupiah. Imran memang tidak pernah mengambil tabungannya, tetapi kebutuhan rumah tangga mereka tidak akan tercukupi. Anti malu meminta terus-menerus kepada Ayah dan Ibu. Mereka tahu Imran bekerja sebagai tauke karet di kampung mereka.
Tetapi kedua orang tua Anti tidak tahu hasil penjualan karet itu dibawa untuk foya-foya bersama sahabat-sahabatnya. Orang tua Anti pun tidak tahu, Imran lebih mementingkan tersambungnya nyawa Budi dibandingkan hidup istrinya. Sebagai perempuan kampung, Anti tidak benar-benar paham definisi cinta antara kedua sahabat itu, biarpun Anti sudah sarjana pendidikan agama.
Dalam keyakinannya, Anti paham bahwa tiga bulan berturut-turut suami tidak memenuhi nafkah batin maupun fisik, maka talak satu sudah jatuh dengan sendirinya.
Bagaimana Anti?
Hidupnya kini antara langit dan bumi. Imran menggantung ikatan pernikahan mereka di antara ada dan tiada. Seperti yang sudah dikatakan, Imran tidak membekali Anti dengan nafkah materi.
Namun Imran akan membutuhkan Anti begitu tubuhnya gemetar menahan hasrat berhubungan suami istri. Anti melayani, penuh getir, penuh harap, Imran akan berubah setelah malam itu. Malam beranjak pagi, Imran membersihkan diri lalu pergi tanpa menoleh lagi ke arah Anti.
Imran terbiasa melakukan hal demikian. Hidup Anti tidak pernah nyaman berada di dekat Imran. Berkali-kali pula Imran mengatakan hal yang sama. Hanya Anti saja yang berkeras hati supaya pernikahan mereka berlangsung lama.
Anti tidak mau menanggung malu pada semua pandangan yang menilainya sebagai perempuan tak bermoral. Usia masih muda sudah berpisah dengan suami menjadikannya sebagai perempuan tak berharga di mata agama dan sosial. Perbuatan halal menurut agamanya tidak lantas halal bagi masyarakat yang menganggap pernikahan hanya sekali.
Anti bahkan tidak lagi memahami dengan baik perceriaan itu. Imran masih mendekatinya saat dia butuh walaupun Anti sering menolak. Kebutuhan batin Imran terpenuhi lalu pergi lagi. Tiga bulan tidak mendekati Anti tetapi Imran akan datang lagi setelah itu.
Jika keputusan agama menuntun bahwa perceraian sudah terputus maka mereka telah berzina sekian lama. Imran tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berbuat saja, sesuai kemauan dirinya.
Anti mempertahankan rasa tidak nyaman itu dalam kesendirian, supaya nama mereka tidak tercoreng dalam tradisi dan adat-istiadat. Tetapi Imran memilih berkata lain.
“Kamu tidak memberiku keturunan!” Imran berkata sambil lalu, memegang ponselnya dengan suara girang Budi di ujung sana.
Aku yang tidak memberi keturunan atau kamu yang tidak memiliki keturunan! Suara hati Anti tak pernah didengar Imran.
Berulang kali pula Anti memeriksa kesehatan, dokter mengatakan hal yang sama. Anti benar-benar dalam kondisi sehat dan tidak mandul!
Anti mengajak Imran ke dokter yang sama, laki-laki ini menolak dengan berbagai alasan. Di matanya, hanya perempuan saja yang mandul sedangkan laki-laki tetap perkasa dengan kejantanan mereka. Alasan ini pula Imran menjadikan prestasi lainnya untuk mengunci raga Anti di dalam rumah.
“Saya malu bawa-bawa istri tak beranak!” kata-kata Imran sangat melukai perasaan Anti.
Imran malu? Karena dirinya tidak punya anak? Mereka sama-sama tidak punya anak. Dan banyak orang lain yang tidak punya anak, Imran lupa dalam keluarganya juga ada Bang Ali yang tidak punya keturunan di usia 40 lebih. Bang Ali masih menyayangi istrinya di hadapan kami. Imran saja yang berwatak keras kepala dan menyalahkan Anti sebagai perempuan “cacat.”
Karena alasan ini pula Imran memilih Budi menghabiskan sisa hidupnya? Barangkali suatu saat Imran akan memperistrikan Budi setelah menceraikan Anti!
“Kita cerai saja!” lanjut Imran tanpa menoleh ke arah Anti. Budi terkekeh di ujung telepon.
Dan Imran, akan merasa kehilangan setelah Anti pamit dari hidupnya!
Proses dialog antar dua pandangan berbeda berlangsung tidak sehat bagi Anti. Anti berada di kelompok tertuduh seorang diri.
Imran memaparkan semua permasalahan dalam keluarga mereka di hadapan orang dituakan kampungnya. Anti berada di posisi sangat lemah dalam lingkungan keluarga orang lain. Orang-orang tua kampung Imran hanya menerima pendapat Imran, tanpa mendengar sedikit saja ucapan Anti.
“Kami sudah tidak sehati lagi, mana mungkin saya tinggal bersama perempuan yang tidak pernah memasak, mencuci baju dan tidak memberikan kebutuhan batin itu!”
Imran sudah menjelma menjadi laki-laki asing di hadapan Anti. Sakit sekali hatinya mendengar ucapan Imran. Pandai sekali Imran memutar-balikkan kenyataan menjadi khayalannya semata.
Salah seorang orang tua kampung memberikan waktu seminggu kepada mereka untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Supaya mereka bisa menenangkan diri, Anti maupun Imran bisa berubah.
Seminggu berlalu, Imran tidak pernah menampakkan tubuhnya di hadapan Anti. Imran juga tidak memenuhi janjinya ke rumah orang tua kampung memberikan keputusan hubungan mereka. Anti tidak berani melarikan langkah ke rumah orang yang dituakan itu, karena Anti orang asing, karena Anti seorang perempuan!
Lalu, Imran pulang membawa perkataan, “Pulanglah ke rumah orang tuamu, setelah itu baru saya pulang ke rumah ini!” bukankah itu kalimat cerai secara tersirat?
Laki-laki itu menjadikan Anti tumbal masalah rumah tangga mereka. Imran mencari-cari cara sehingga Anti tersalah. Anti tidak pernah mengemasi barangnya dari rumah tangga mereka, jika ia beranjak selangkah saja itu akan memberikan bukti bahwa Anti penyebab rumah tangga mereka retak berkeping-keping.
Seminggu berlalu, sebulan sudah hilang setelah perjanjian dengan orang tua kampung. Imran tak pulang ke rumah, Budi pun terlihat sering seorang diri. Hanya Bang Ali yang datang ke rumah, mendamaikan sifat Imran dengan Anti.
“Pulanglah, Anti. Imran ada di rumah Ayah, keputusan kalian akan diputuskan pengadilan seminggu lagi, dia sudah rela melepaskanmu!” Bang Ali berkata dalam sendu, dapat terlihat raut kecewa dalam diri abang Imran ini. Oh karena suami pemarah cerai istri mandul itulah sebabnya.
Artinya?
Aku bukan siapa-siapa lagi di sini!
***
Berdasarkan kisah nyata tanpa mengubah alur cerita sebenarnya. Nama tokoh adalah bukan nama sebenarnya. Begitulah cerita suami pemarah cerai istri mandul. Jangan pernah tiru suami pemarah cerai istri mandul karena berakibat fatal.
Leave a Reply