Sprei sudah diganti dengan yang baru dicuci. Safrida mematikan lampu. Hari ini lelah sekali. Suara televisi belum kecil sedikit pun semenjak ia pulang tadi siang sampai sore hari. Safrida memejamkan mata. Sekelebat bayangan suram datang. Ayah dan ibu ingin pernikahannya bahagia. Punya anak. Suami perhatian dan penuh kasih sayang.
Safrida iri dengan tetangga, Aminah sudah punya dua orang anak. Tiap pagi suami Aminah mengantar kedua buang hatinya ke sekolah dengan penuh tawa. Sore hari suami Aminah menyiram bunga di perkarangan rumah mereka. Malam harinya terdengar suara kedua anak Aminah mengaji, sesekali suami Aminah memperbaiki bacaan ngaji anak-anaknya. Tak pernah terdengar piring pecah. Tak ada bentakan. Tak ada suara televisi kencang-kencang. Tak ada asap rokok. Tak ada derita. Mereka bahagia!
Dalam isak, Safrida merasa ada tubuh berat dan bau rokok menindih badannya. Lelaki yang sudah ia nikahi dua tahun lalu, hanya ingat padanya saat malam. Meminta berulang-ulang sampai Safrida luluh. Kerap kali Safrida menolak, lelaki yang ia sebut suami itu memaksa diiringi pukulan. Safrida tak kuat. Napasnya terengah-engah. Ia ingin berteriak. Lari sekencangnya. Memaki. Hanya dalam tangis. Kasih sayang sudah hilang dari hari suaminya.
“Aku masih datang bulan,” tolak Safrida halus.
“Menolak ajakan suami itu dosa besar, Safrida,” rayuan itu lembut. Safrida akan terhanyut jika tidak tersadar ia telah disakiti dari pagi sampai sore hari ini.
“Aku benar-benar tidak bisa,”
“Kau bohong!”
Suami Tidak Mau Kalah Sama Sekali karena Suami Pemalas Tampar Istri
Leave a Reply