Suatu malam minggu di penghujung tahun sewindu lalu. Tiar menangis tersedu di depan saya, dan Arif. Persahabatan sejak sekolah menengah pertama membuat airmata mengukur juga di pipi kami berdua. Saya tak bisa membendung luapan emosi yang Tiar ungkapkan; di mana-mana adalah luka baginya!
Daftar Isi
Ini Cerita Luka
Seharusnya, Tiar dalam bahagia yang tiada tara setelah kelahiran anak keduanya. Luka yang tiba-tiba membuatnya tidak bisa meraba ke mana arah suka dan mengapa duka begitu tak melampaui batas.
Seorang laki-laki jika ia sudah mengeluarkan airmata maka kesedihan baginya adalah luka tak terbendung kata-kata. Tiar seperti meraung dalam sesunggukan panjang. Waktu yang egios membuat tangisnya tak bersuara, antara ‘malu’ dilihat orang dan juga tubuh gempalnya yang menghujat akan hal itu.
Tiar seperti meronta, mungkin ingin meratapi nasib tetapi ingin itu tidak mungkin terjadi ditengah waktu yang sudah berlalu. Ia terdasar bahwa kemungkinan tidak bisa mengubah keadaan soal putra keduanya yang lahir tidak normal.
Saya mengiba dalam diam. Arif juga tidak mampu berkata apa-apa. Kami saling menghangatkan dalam tatapan penuh cinta. Dari berbagai sudut pandang, tangan kami tidak mungkin menjangkau apa yang sedang Tiar rasakan.
Sedihnya bertalu-talu setelah malam itu. “Aku harus bawa si Adek operasi!” ujarnya sebulan kemudian. Saya dan Arif memberi dukungan, tentu saja suatu hal yang lumrah.
Dua hari sebelum Tiar dan keluarga berangkat ke Banda untuk melakukan operasi besar terhadap bayinya, ia meraung-raung luar biasa. “Aku nggak akan sanggup melihat dokter menjahit bibir si Adek, aku nggak akan mampu melihatnya dibius…,”
Saya berujar, “Sabar ya…,” dalam isak yang tak tertahan.
“Kamu harus ikhlas untuk kesembuhannya,” Arif memegang pundak Tiar yang bergetar.
Begitulah bermula yang tak sanggup diungkapkan oleh Tiar, demikian juga kami sahabatnya. Ketika buah hati lahir dalam ketidaksempurnaan, tiap orang tua pasti akan melakukan segala cara untuk membuatnya lebih baik.
Meskipun jalan itu buntu!
Tiar dan keluarganya ke Banda dalam ketidakpastiaan. Mereka berlabuh kepada keadaan yang mungkin berpihak, mereka berharap kepada belas kasih dari mereka yang mungkin lebih paham, dan mereka berdoa kepada Yang Kuasa atas segala luka agar segera berubah menjadi suka.
Jiwa Penolong Itu Telah Tiba
Ringkihnya langkah Tiar di trotoar rumah sakit membuatnya hampir tersandung dan jatuh ke kubangan air hujan di bawah sana. Pipinya masih sembab. Jalan yang ia lalui seakan-akan makin gelap. Ia tidak tahu meraba ke langit mana untuk kesembuhan putranya yang belum juga masuk ke ruang operasi.
Tiar bersandar pada dinding rumah sakit yang seakan-akan hampir roboh. Sesekali ia mengusap wajah dengan mata berair. Harapan seperti palsu. Dokter berkata segera melakukan operasi pada bibir putranya, namun belum ada tanda-tanda anaknya akan masuk ke meja bedah.
Tangan yang menopang dinding menjuntai ke bawah. Sebuah tangan meraih badannya yang hampir lunglai.
“Hati-hati, Bang,” ujar suara itu dalam pelafalan yang tidak nyaring, seperti berdesis namun masih bisa dipahami maksudnya.
“Oh, terima kasih,” Tiar mengusap lagi wajahnya; ingin terlihat tegar di mata laki-laki lain.
“Sabar, Bang. Saya tahu bagaimana perasaan saat anak masuk rumah sakit,” pria itu menatap Tiar dengan pandangan yang penuh iba namun di sisi lain ada harapan entah ke mana muaranya.
Dalam gamang dan galau hatinya, Tiar seperti mengenal pria yang baru saja menolongnya yang hampir jatuh kedua kali. Sapa Tiar dalam tebak-tebakan dan berharap benar, “Kalau tidak salah kita pernah bertemu di Meulaboh ya?”
“Benar sekali, Bang. Saya memang orang Aceh Barat,” jawab pria itu dengan senang.
“Kebetulan sekali kita ketemu di sini,” Tiar seperti mendapat secercah harapan. Mungkin untuk minta tolong.
“Jodoh itu namanya, Bang. Tak ada kebetulan di dunia ini,”
“Mungkinkah demikian?”
“Saya yakin itu!”
Tiar mengerutkan kening; dalam ketidakpahaman masalah pertemuan mereka. Yang kemudian hari ia pahami benar-benar jodoh yang tak terduga.
“Kalau boleh tahu, ke sini bawa anak sakit juga?”
“Nah itu dia, Bang. Saya sedang mendampingi anak-anak yang kurang beruntung hidupnya, seperti saya dulu,”
Tiar makin dibuat bingung. Kemudian ia mencerna tanpa bertanya, mulai dari membuka memori kapan bertemu dengan sosok itu, suaranya yang sangau dan tentu bibirnya yang masih terlihat bekas jahitan.
“Kalau boleh tahu, maksud mendampingi itu apa ya?”
“Kebetulan saya membawa anak-anak yang senasib dengan saya untuk menjalani operasi di rumah sakit ini, Bang,”
Tiar yang sedikit lama loading karena kegelisahan dan kesedihan langsung bisa memahami keadaan. Mungkin ini benar-benar pertemuan jodoh.
“Mereka sudah dioperasi?” tanya Tiar perlahan.
“Sebagian sudah, Bang. Saya memastikan anak-anak itu mendapatkan pelayanan terbaik dan sedini mungkin dilakukan operasi meskipun itu bertahap agar bisa bicara lebih jelas nantinya,”
“Kami belum…,” suara Tiar terputus dalam gamang yang jelas.
“Mohon maaf, Bang. Kalau saya boleh tahu, anaknya juga begitu?”
Tiar mengangguk.
“Belum dijadwalkan operasi?”
“Belum,”
“Belum ada tindakan apa-apa dari dokter?”
Tiar mengeleng.
“Siapa nama anaknya? Kalau saya boleh lihat berkasnya mana biar saya bantu prosesnya,”
Tiar seperti berlari sangat kencang, melebihi langkahnya saat dikejar ombak besar kala tsunami akhir 2004. Ia masuk ke dalam kamar rawat inap, anaknya rewel dengan infus di tangan, istrinya ia abaikan begitu saja, ia kembali berlari ke luar kamar setelah mendapatkan berkas yang dibutuhkan.
Rahmat Maulizar, jiwa yang menjadi penolong Tiar dan keluarganya. Penghujung hari yang mendadak lega di hatinya. Ia berharap besok, kalau bisa nanti malam, kabar baik itu segera menghinggapi laranya!
Sosok yang Berkelana ke Tanah Basah Tsunami
“Saya sudah jauh berkelana, Bang. Saya mencari anak-anak yang baru lahir, balita dan usia lain yang mungkin bisa diyakinkan untuk segera operasi bibirnya,” Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2021 Bidang Kesehatan asal Aceh Barat itu memulai sebuah cerita kepada Tiar di saat anaknya sudah masuk ke ruang operasi.
“Sebelumnya, terima kasih sudah membantu dan menemani saya sampai detik ini,” suara Tiar yang serak dibantu dengan sebuah senyuman dari Rahmat.
“Berilah senyuman terindah, niscaya anaknya nanti akan merekah juga senyum indahnya!”
Tiar berubah melankolis. Ia menangis dalam harap, cemas dan doa panjang untuk anaknya.
“Sebuah senyuman,” ujar Tiar dalam isak.
“Benar, Bang. Senyumlah untuk anaknya!”
Tiar tersenyum lepas, belum pernah ia melakukan itu setelah anaknya lahir beberapa waktu lalu.
“Saya tersenyum untuk anaknya keluar ruang operasi nanti…,’
“Saya tersenyum untuk anak-anak kurang beruntung di Aceh dan dunia!” tegas Rahmat.
“Kita tersenyum untuk mereka!” tambah Tiar dalam sesunggukan seorang Ayah, yang penuh cinta terhadap anaknya.
Sayup-sayup angin pagi melambai ke poni Tiar yang mungkin bau asam. Ia sudah lupa kapan terakhir membasuh badannya semenjak sampai di rumah sakit. Di sudut lain, istri dan anak sulungnya yang berusia tiga tahun sedang memeluk satu sama lain.
“Tahu nggak, Bang? Kesedihan seorang anak adalah saat melihat orang tuanya menangis. Maka saya datang untuk mengubah sebuah tangisan itu menjadi sebuah senyuman yang manis untuk hari-hari mereka,”
Tiar siap mendengar cerita Rahmat dalam penantian panjang anaknya di atas meja operasi.
“Saya mencari tahu, bertanya ke mana-mana, menebar nomor kontak, agar orang-orang menghubungi saya dan saya bisa membantu mereka datang ke rumah sakit. Saya mendaki bukit di pedalaman Aceh Selatan. Saya mendengar cerita orang tua yang sedihnya sama seperti Abang ini di pinggir laut Aceh Jaya. Saya bersenda gurau dengan anak-anak di pinggir jalan Kota Subulussalam. Semua itu saya lakukan untuk membuat mereka yakin, orang tua mereka optimis bahwa masih ada waktu untuk mengubah keadaan!”
Orang-orang berlalu-lalang dari berbagi sisi. Tentu banyak kecemasan di rumah sakit karena keadaan yang mengajarkan hal demikian. Ketika melihat orang berlari, apalagi perawat, detak jantung Tiar seolah telah berhenti, doa panjangnya juga terputus.
“Kenapa kamu melakukan hal lelah begitu?” tanya Tiar tiba-tiba.
“Senyum mereka adalah anugerah terindah bagi saya, Bang. Saya tidak menyesali nasib, juga tidak mengutuk keadaan maupun menyalahkan orang tua. Saya sangat bersyukur orang tua mengizinkan operasi kala itu, kalau tidak mungkin suara saya tidak mudah dipahami seperti sekarang,”
“Istri saya salah satu orang yang terlambat operasi…,” gumam Tiar tanpa terduga.
“Istri Abang juga demikian?”
Tiar mengangguk. Rahmat memahami dari lubuk hati terdalam.
“Maka itu, Bang. Saya mencari mereka yang malang nasibnya, sedini mungkin dilakukan operasi karena saat sudah dewasa waktunya selain sulit operasi juga pelafalan kata-kata sudah tidak mudah dicerna,”
Tiar menatap langit yang jauh. Entah perasaan apa yang menghinggapi. Ia cuma teringat kalimat duka panjang dari dokter tak lebih 48 jam lalu, “Pak, kemungkinan ini adalah keturunan menurut cerita Bapak dari salah satu anggota keluarga. Bapak juga menyebut tidak pernah tersandung, tidak terjatuh, maupun kondisi kronis lain semasa kehamilan. Memang kondisi ini ada banyak faktor, keturunan juga termasuk!”
“Abang tidak perlu menyesali keadaan, banyak orang seperti kami tetapi ada jalan menuju senyum terindah dari mereka!”
Tiar berterima kasih dari tatap matanya yang nanar. Waktu sekonyong-konyong sangatlah pelan sekali. Ia ingin segera mencari tahu, ingin segera merengkuh anaknya yang selesai operasi di bagian bibirnya. Lagi-lagi hatinya ngilu sekali!
“Jalan saya juga tidak mulus, Bang. Orang tua yang awam menolak berkali-kali ajakan saya. Mereka takut. Mereka gusar soal biaya meskipun sudah saya yakinkan semua gratis. Hal utama, mereka kasihan sama anaknya yang harus masuk ruangan operasi, dan dioperasi bibirnya nggak cuma sekali dua kali,”
Tiar paham. Itulah yang membuat hatinya makin sakit. Dokter yang menangani anak bungsunya itu berujar, “Pak, paling sedikit anak Bapak akan menjalani 2 sampai 3 kali operasi dalam jangka waktu,”
“Saya meyakinkan mereka, Bang. Saya berikan arahan dan pemahaman, lebih baik sakit melihat anak dioperasi sekarang daripada ketika besar mereka tidak percaya diri, dikucilkan dan lain sebagainya. Saya datangi keluarga anak itu berkali-kali, saya berikan contoh yang baik-baik agar mereka mau menjalani operasi yang kadang butuh berkali-kali,”
Mata Tiar tak berhenti berkaca-kaca. Jalan yang ia lalui – mungkin – lebih mudah dibandingkan keluarga lain dari keluarga kurang mampu. Penyesalan yang datang bertubi-tubi sudah waktunya diganti dengan kebahagiaan lekas operasi anaknya. Jika ia tidak memberi senyum untuk anaknya sendiri, sungguh malu hatinya melihat Rahmat menawarkan senyum bertubi-tubi kepada puluhan sampai ratusan anak Aceh yang kurang beruntung lahirnya!
“Saya mendampingi mereka sampai tuntas, walaupun ada sampai 5 kali operasi bahkan lebih!”
Perjuangan yang panjang tak sia-sia. Hati terdalam Tiar ingin sekali berujar terima kasih berkali-kali tetapi rasanya itu tidak cukup.
“Tersenyumlah, Bang. Untuk anak-anak kita!”
Senyum Baru Di Teras Rumah Sakit
Senyum baru di teras rumah sakit; selalu dan memang begitu. Rahmat Maulizar telah mengantarkan senyum baru untuk anak-anak Aceh. Pertemuan dengan Tiar hanyalah segelintir kisah yang mungkin sudah dilupa olehnya. Kisah sedih Tiar sudah berlalu dengan 3 kali operasi pada anaknya yang belum balita kala itu.
Di beberapa kali ngopi kami di senja, Tiar selalu berujar dengan nada terima kasih kepada Rahmat yang sangat banyak membantu operasi putra bungsunya. Jika tidak ada Rahmat kala itu, Tiar entah sudah berada di rumah sakit berapa lama, dan entah bagaimana proses panjang itu mesti ia lalui dalam duka teramat dalam.
Inspirasi tak bertepi dari Rahmat tak berhenti di satu titik. Ia masih terus mencari di mana mereka yang kurang beruntung lahirnya untuk segera operasi, agar senyum baru melankolis seindah-indahnya.
Teras Rumah Sakit Malahayati Banda Aceh selalu menjadi saksi bisu ketika anak-anak itu keluar dari ruang operasi. Dengan senyum baru yang wangi di mata orang tuanya, dengan tangisan kebahagian yang membuat hati Rahmat bersemai kasturi.
Dokter ahli bedah plastik yang bekerja dengan baik, tak cuma bertepuk tangan gembira tetapi lega dalam pahala setelah memberi bantuan kepada Gratis Smile Train yang dipelopori oleh Rahmat. Mereka bertemu dengan anak-anak dari pelosok negeri Aceh; Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Subulussalam, Aceh Besar, Langsa, maupun pelosok lain yang catatannya tak pernah lekang oleh waktu.
Ada bahagia yang sulit Rahmat lukiskan begitu pintu ruang operasi dibuka. Hatinya yang berdetak cemas, langsung berubah indah ketika melihat senyum dokter dan perawat yang baru selesai dalam lelah operasinya.
Inilah kisah sedih dari sebuah pencarian panjang Rahmat Maulizar kepada anak-anak dengan kurang beruntung lahirnya. Senyum baru yang ditebar tak lain suka yang berkali lipat tingginya.
Saya tahu. Perjuangan Rahmat tidak pernah sia-sia. Dari senyum baru mereka yang masih bayi, bahkan balita, dan anak-anak menjadi obat lelah baginya. Balas kasih kepadanya adalah doa panjang untuk kebahagiaan tak bertepi.
Rahmat Maulizar terus menebar senyum baru, bukan cuma janji yang diingkari. Ia rela menanti di teras rumah sakit, meskipun yang ditunggu bukanlah kerabatnya sendiri. Hatinya begitu sakit jika tidak mendampingi sampai usai operasi walaupun itu berkali-kali.
Teras rumah sakit biarlah mencatat kenang-kenangan manis tentang Rahmat Maulizar dan anak-anak senyum baru di negeri Aceh. Suatu saat nanti, entah itu akan abadi atau dihapus oleh cat baru, senyum baru itu tetaplah kenangan terindah dari Rahmat Maulizar kepada anak-anak Aceh yang kini lepas senyumannya kepada dunia!
Leave a Reply