Pengalaman Seorang Ayah Imunisasi Bayi Baru Lahir
Rumah Sakit Sultan Iskandar Muda, Nagan Raya, Aceh
Setengah delapan pagi yang merindu waktu cepat berlalu!
Kamar inap kelas 1 itu terasa sangat sunyi. Air kran dari kamar mandi yang bocor memecahkan suasana hening itu. Saya duduk di sisi istri yang terlihat sangat pucat. Saya memberi semangat lebih tinggi kepadanya dalam hal apapun.
Kami menanti kelahiran anak pertama. Itu yang pasti. Sebagai orang tua yang belum memiliki pengalaman, perjuangan kami jauh lebih berat daripada orang lain. Jantung berdetak lebih kencang juga karena istri pernah keguguran di kehamilan sebelumnya. Kau bisa baca My Dear, Kita Hanya Berdua Menjalani Kehamilan Ini, tentang luka, asa dan lara yang kami genapkan dalam untaian doa agar segera diberi kesabaran!
Waktu yang berjalan dengan cepat. Di 11 November 2021 adalah hari di mana kami menanti dengan cemas, penuh harap dalam doa panjang, segala rupa yang tak bisa saya jabarkan jika kau belum pernah merasakan sendiri.
Perawat ruang VIP 1 masuk kamar kami belum sampai pukul 08.00 tepat. Jantung saya, dan juga istri, sudah berada di ujung ke ujung. Istri saya dipapah ke tempat tidur yang bisa didorong, tentu menuju ke ruang operasi yang ramai sekali di sana. Rata-rata orang memilih tanggal cantik, kami berdua tidak berpacu dengan tanggal tetapi bagaimana kata dokter jika sudah waktunya itulah saatnya anak kami lahir.
Istri saya mesti operasi caesar karena alasan yang kuat dari dokter, dan juga berdasarkan pengalaman kami tidak mau mengambil risiko terlalu dalam. Ruang antrean begitu panjang. Hari itu ada 3 dokter yang melakukan operasi caesar. Masing-masing pasien memilih dokter mana yang cocok dengan mereka, demikian juga dengan kami.
Sekitar 15 menit kami menunggu, istri saya dibawa ke ruang operasi. Perjuangan kami segera dimulai. Perjuangan seorang ayah juga di depan mata. Saya pun bersiap-siap untuk masuk ke ruang operasi. Dalam harap yang tak henti, saya berdoa sangat panjang. Saya terus berdoa tentang kami, tentang anak kami yang segera lahir. Tentang segalanya yang mungkin.
Saya mondar-mandir di ruangan yang terus berdatangan ibu hamil. Semua keluarga berkumpul bersama menanti kehadiran buah hati. Saya cuma berdua sama Ibu sedang keluarga lain tidak bisa ikut. Saya akan menceritakan di kisah lain tentang duka itu.
Setengah lebih saya menunggu. Saya juga sudah menggunakan setelan yang wajib dipakai untuk masuk ke ruang operasi. Kepala juga sudah tertutup rapi.
Saya menanti dengan harap-harap cemas. Sesekali saya memastikan kepada perawat yang keluar masuk menuju ke ruang operasi. Katanya, nanti dipanggil. Katanya, istri saya masih dalam proses anastesi.
Tak lama setelah itu. Saya dibawa masuk ke ruang operasi. Istri saya sudah dibius tetapi tidak total. Saya tidak ingat dengan jelas perkataan dokter kala itu. Saya cuma ingat, dokter bilang jangan melihat ke bagian depan kalau tidak sanggup.
Saya mengiyakan. Saya berdoa panjang. Saya membacakan beberapa potong ayat Alquran yang diikuti oleh istri saya. Perawat yang bertugas di sana juga menyetel muratal dari speaker yang ditempatkan di sudut ruangan.
Proses operasi caesar cukup cepat dari perkiraan saya. Tangisan bayi kami terdengar di menit ke 30 lebih sedikit. Saya haru. Itu sudah pasti. Dokter meminta saya mengejar bayi yang dibawa keluar oleh perawat.
Saya mengejar. Entah langkah kaki saya terlalu cepat, entah pelan waktu itu. Saya mengikuti bayi kami yang dibawa keluar ruangan operasi untuk dibersihkan. Perawat mungkin bidan yang menerima bayi kami dengan cekatan membersihkannya dari darah dan lain-lain. Selang-selang kecil dimasukkan ke mulut dan hidung. Bayi kecil kami itu menangis keras. Airmata saya keluar. Tak bisa dibendung. Tak ada alasan untuk mencegahnya pula.
Ada dua bayi yang ada di situ. Namun cuma bayi kami yang kuat menangisnya. Saya menjadi tidak khawatir; karena orang tua bilang kalau bayi baru lahir menangis itu lebih baik daripada diam saja. Bidan yang bekerja itu tak memedulikan saya yang berdiri di sampingnya. Ia terus mengeluarkan cairan dari kerongkongan dan hidung bayi kami. Sesekali bayi kami yang masih merah itu tersedak dan muntah. Bidan itu membiarkan saja. Ia terus memasukkan selang kecil ke mulut dan hidung, sampai cairan yang dikeluarkan cukup sedikit.
Saya tidak tahu cairan apa itu, mungkin sisa air ketuban atau cairan lain yang bisa membahayakan bayi baru lahir. Yang pasti, setelah bayi kami dibersihkan, saya dan bayi dibawa kembali ke ruang operasi. Saya tak bisa mendefinisikan betapa lelah berubah bahagia tak terkira dari istri begitu bayi kami disandarkan ke pundaknya.
Cuma, itu tak lama. Dokter berujar, “Cantik ya Bu bayinya,” setelah itu beberapa foto diabadikan untuk kenangan kami. Saya kembali diminta untuk mengejar bayi yang langsung dibawa dengan cepat oleh perawat yang bertugas hari itu. “Ke ruang kebidanan, Pak. Wudu dulu biar langsung azan!”
Saya mengikuti anjuran perawat itu. Sangat cepat waktu berlalu. Ibu menunggu istri saya di depan ruang operasi. Usai berwudu, saya berlari ke ruang Kebidanan. Di sana bayi kami sudah menunggu ayahnya. Ia terdiam. Matanya masih sayu. Saya langsung mengumandangkan azan di telinga sebelah kanan dan ikamah di telinga sebelah kiri.
Tak lama, bayi kami langsung dibawa ke dalam ruangan perawatan selama 6 jam ke depan. Saya diminta menyelesaikan administrasi ke meja petugas di ruang tunggu itu. Perawat yang sudah terlihat seperti ibu-ibu menyerahkan selembar kertas, “Ini yang harus disiapkan ya, Pak,”
Saya mengeluarkan Buku Pink yang didapatkan dari Posyandu, Kartu Keluarga, BPJS Kesehatan istri, dan mengisi surat pernyataan yang diberikan oleh petugas itu.
“Bapak, apakah anaknya suntik imunisasi?”
Saya bingung. Ini keputusan yang harus segera.
“Imunisasi apa, Bu?”
“Bayi baru lahir ada imunisasinya, Pak,” ujar petugas itu. Ia menjelaskan jenis imunisasi yang langsung saya lupa. Jangan berharap hal demikian mudah diserap oleh seorang suami. Istri saya pasti akan mengingatnya, saya tidak demikian. “Imunisasi ini boleh dilakukan boleh tidak. Kami menyerahkan keputusan itu kepada orang tua bayi bersangkutan. Namun kami tidak bisa memberikan lagi imunisasi dimaksud kalau anak sudah keluar dari ruang Kebidanan. Jika Bapak tanya sama saya, imunisasi itu tetap wajib meskipun bayi baru lahir!”
“Baik, Bu. Imunisasi saja,” putus saya. Saya pun yakin, istri akan setuju. Keputusan yang sulit sudah berkali-kali saya lewati, keputusan ini juga demikian. Sebagai seorang ayah yang bayinya baru lahir, saya tentu akan memberikan yang terbaik untuk anak kami.
Orang-orang di lingkungan kesehatan sangat lebih paham soal imunisasi daripada saya di bidang pendidikan. Saya tidak mau ngotot karena imunisasi ini suatu hal yang wajar bagi perkembangan anak ke depan. Di kemudian hari, saya baru tahu kalau bayi akan diimunisasi lagi pada bulan ke dua, ketiga, dan seterusnya berdasarkan urutan. Istri membawa anak kami ke Posyandu untuk mendapatkan imunisasi.
“Sekarang Bapak fotokopi semua yang saya sebut tadi, jangan lupa stempel surat ini di kasir. Semua berkas harus dikembalikan ke sini tak lebih 2 jam ya, Pak. BPJS Kesehatan cuma memberikan waktu 2 jam saja untuk bayi baru lahir mengikuti kartu ibunya. Jika lebih dari itu, Bapak harus mengurus sendiri BPJS Kesehatan Sementara agar bayi dan ibu bisa dibawa pulang,”
“BPJS Kesehatan Sementara ini berlaku berapa lama, Bu?”
“3 bulan, Pak,”
“Baik, Bu,”
Saya langsung berlari ke bagian kasir untuk mendapatkan stempel di surat pernyataan dimaksud. Antrean yang tak begitu lama. Saya bersyukur atas itu. Saya berlari ke kedai fotokopi untuk menggandakan berkas itu. Matahari sudah naik tinggi. Saya pun tidak lagi melihat jam di saat genting itu. Peluh sudah berkucuran. Di fotokopi, saya cukup lama mengantre karena di dekat rumah sakit itu cuma ada satu kedai fotokopi.
Selesai fotokopi, saya kembali berlari ke perkarangan rumah sakit. Saya tidak lagi menghitung jarak antara jalan yang saya putar ke sana-sini. Saya melewati bagian kasir, lantai menurun saya bertemu dengan ruang operasi, orang-orang begitu ramai di koridor, saya melewati kamar inap kelas 3, setelah itu baru saya bertemu dengan ruang Kebidanan.
Saya menyerahkan berkas yang sudah digandakan ke petugas yang sama. Berkas tersebut dicek satu persatu.
“Sudah lengkap, Pak,”
“Baik, Bu,”
“Oh ya, Pak,” ujar petugas itu. “Apa anaknya boleh kami kasih susu?”
“Apa harus saya kasih keputusan sekarang, Bu?”
“Boleh nanti saat istri Bapak kembali ke kamar,”
Saya kembali ke ruang operasi setelah mengurus semua berkas, dan bayi kami sudah di ruang Kebidanan. Ibu menanti di pintu keluar namun istri saya belum dibawa keluar. Kami menanti dengan harap cemas. Saya melihat Ibu juga demikian dalam bimbangnya menanti menantu kesayangan dibawa keluar dari ruang operasi.
Tampaknya, semua orang yang ada di sekitar kami sedang khawatir.
“Tadi anak diminta imunisasi,” ujar saya kepada Ibu.
“Imunisasi saja, memang ada untuk bayi baru lahir,” kata Ibu yang tentu lebih mengerti karena semasa mudanya adalah kader Posyandu.
“Apa tidak masalah, Bu?”
“Tidak. Wajib imunisasi untuk kekebalan tubuh anak. Justru bahaya kalau tidak imunisasi sejak bayi,”
Saya tidak tahu kenapa harus khawatir.
Orang tua baru ada pengaruh besarnya juga.
“Jangan takut. Anak akan lebih sehat dengan imunisasi,” Ibu saya yang awam dan kader Posyandu sangat yakin dengan imunisasi.
Selanjutnya adalah istri saya saat sudah kembali normal.
Detik-detik istri saya dibawa keluar dari ruang operasi tibalah itu. Saya berlari ke tempat tidur yang bisa didorong itu. Istri saya kami pindahkan ke tempat tidur lain untuk didorong ke kamar. Semua bergerak dengan cepat. Istri saya tampak lelah sekali. Namun ia bahagia!
Saya melihat, semua yang bekerja di rumah sakit hari itu bergerak dengan cepat. Memang begitu yang berkenaan dengan nyawa manusia. Semua diutamakan.
Kami sudah di kamar pribadi. Meski belum begitu tenang karena bayi kami masih di ruang Kebidanan, saya dan istri sudah bisa bernapas lega. Kami dalam diam namun berbicara melalui pandangan mata masing-masing dengan penuh cinta.
Perawat masih menganjurkan untuk istri saya tidak langsung tertidur. Saya memulai apa yang layak dimulai.
“Tadi anak diminta imunisasi,”
“Abang iyakan?”
“Iya, tapi…,”
“Keputusan Abang sudah benar, anak memang harus imunisasi saat baru lahir,” saya bernapas lega. Istri saya memang banyak sekali membaca selama masa kehamilan.
“Nggak masalah berarti?”
“Tentu tidak, Abang!” rona wajah istri saya berubah. “Di saat begini, Abang harus buat keputusan sendiri,”
“Iya,” saya pun ikut bahagia dengan keputusan sigap yang telah saya buat.
“Tadi, ditanyai apa boleh kasih susu?”
“Jangan dulu,”
“Sudah Abang bilang tunggu keputusan saat istri kembali ke kamar,”
“Iya,”
“Jadi bilang jangan?”
“Kita coba peras ASI dulu, kalau nggak keluar baru kita cari solusi lain,”
“Iya,” saya bergegas ke ruang Kebidanan untuk menjawab keputusan tentang susu ini. Tak lama, saya sudah berlari kembali ke kamar inap. Saya tidak mau meninggalkan istri begitu lama sedang bayi kami sekitar jam 4 sore baru dibawa ke orang tuanya.
Dari sini, saya mengambil kesimpulan bahwa seorang suami harus bisa mengambil keputusan cepat dalam suatu waktu. Inilah cerita saya tentang imunisasi bayi baru lahir. Saya berbagi pengalaman ini untuk diri sendiri dan sebagai pengetahuan penting bagi catatan kami ke depan. Juga, sebagai orang tua baru yang tak lain adalah pahlawan bagi anak-anak mereka!
Alasan ‘Ayah’ Disebut Pahlawan
Biasanya, Ibu selalu dikenang dalam hal melahirkan seorang bayi. Perjuangan Ibu sudahlah tidak bisa diragukan lagi mulai dari dalam kandungan sampai kemudian lahiran. Namun ternyata, perjuangan Ayah juga tidak bisa disepelekan. Saya mengambil banyak sekali makna, bukan saja soal imunisasi bayi baru lahir semata.
Imunisasi bayi baru lahir mungkin hanya kisah yang kecil sekali saya bagikan di sini. Alasan terpenting tak lain posisi Ayah yang menemani istrinya melahirkan seorang bayi. Tak cuma-cuma. Tak sebentar lelahnya. Sejak awal kami berdua memang sudah merencanakan segala. Sejak semula kami menyusun rencana sebegitu baiknya. Namun di hari H, bahkan sebelum imunisasi bayi baru lahir, saya benar-benar dihadapkan pada posisi ‘ayah’ dalam definisi sebenarnya – yang belum pernah terpikirkan sama sekali.
Jauh sebelum saya masuk ke ruang kebidanan untuk menyetujui imunisasi bayi baru lahir, saya sudah lari ke sana-sini untuk mencari ini dan itu. Dari koridor rumah sakit saya ke apotek di lingkungan rumah sakit, lalu berpindah ke apotek ke luar rumah sakit dengan jarak sekitar 2 kilometer, dalam kemaceten, dalam peluh yang tak terkira, dalam lelah jiwa raga, dan dalam kegamangan memikirkan istri masih di ruang operasi. Namun, saya harus membeli sebuah perban anti-air yang khusus untuk ibu melahirkan dan semacam koyo yang saya ketahui untuk meredakan nyeri setelah operasi melahirkan.
Cerita ini mungkin tidak cukup untuk menggambarkan perjuangan seorang ayah saat bayi baru lahir. Dalam hati yang gundah, berdua dalam diam, saya menanti di pintu ruang operasi. Imunisasi bayi baru lahir sudah saya setujui dalam tiba-tiba karena istri saya baru keluar dari ruang operasi lebih kurang 2 jam setelah masuknya. Keputusan saya mengenai imunisasi bayi baru lahir sampai hari ini saya yakini sebuah hal yang menjadi jiwa pahlawan untuk anak kami. Tidak mudah. Saya tetap menyetujui karena saya percaya apa kata bidan dan dokter di ruang kebidanan mengenai imunisasi bayi baru lahir ini penting untuk anak kami.
Lorong di rumah sakit yang ramai, gundah hati saya langsung lega begitu melihat istri dibawa keluar dari ruang operasi. Saya memang tidak mengatakan kepadanya imunisasi bayi baru lahir telah saya setujui. Saya melihat lelah di wajahnya terobati melihat senyum saya. Ia tentu berpikir, suaminya baik-baik saja, dan anak kami dalam keadaan sehat!
Saya sadar, ini hanya segelintir. Di awal mula pula. Begitulah perjuangan ayah yang tak terkira. Airmata saya jatuh tetapi tidak menyentuh apa-apa karena saya berusaha tegar dalam bahagia kami. Untuk ayah di manapun berada, kita adalah pahlawan untuk istri dan anak tercinta!
Harapan dari Super Untuk Ayah di Seluruh Negeri
Harapan saya dari Super cukup simpel saja. Pandangilah Ayah dengan mata terbuka, lihat betapa jiwanya dikerahkan untuk anaknya. Bahkan, jika saya menceritakan semua sampai hari ini, tak cukup satu tulisan saja. Hingga dewasa pula, ayah akan mencari cara untuk mengantar kesuksesan kepada anak-anak mereka.
Apa yang bisa Super berikan untuk sosok ayah di sekeliling ini? Sepaket mahal tak terduga? Emas permata? Rumah bertingkat? Mobil mewah? Perjuangan ayah tidak bisa dihidangkan dengan materi semata. Cukup suguhkan doa, lalu hamparkan harapan untuknya agar kelak saat menjadi ayah kita mendapatkan posisi yang serupa.
Tulisan ini diikutertakan dalam #KadoUntukPahlawan dari Aplikasi Super Kamu bisa Download Aplikasi Super untuk informasi lebih lanjut. Cerita saya mengenai Imunisasi Bayi Baru lahir adalah rangkaian kisah kepahlawanan yang tak terduga.
Leave a Reply