Pengalaman Pertama Naik Kereta Api; Kok Mual dan Pusing? – Terburu-buru kami berangkat ke Stasiun Gambir Jumat menjelang siang itu. Kemacetan dari Jakarta Barat mulai terasa. Tapi, saya begitu bersemangat untuk hari itu karena pengalaman pertama naik kereta api.
Pengalaman Naik Kereta Api
Bentar lagi naik kereta api! |
Idaman dalam impian yang sulit dibuyarkan begitu saja. Dibenak saya, naik kereta api itu begini begitu yang sulit dideskripsikan. Tetapi, lama khayal tetap saja ada karena iming-iming dari tayangan televisi maupun gambar lain yang dilihat di internet.
Saya membayangkan Tiket KLIA Ekspres dalam sekali jalan itu hampir seharga tiket pesawat. Bisa dipastikan orang-orang di Pulau Jawa kebingungan jika hal demikian terjadi. Begitu saya cek secara online, rupanya sekali jala Jakarta ke Bandung itu cuma Rp 150 ribuan saja. Begitu indah Pengalaman Pertama Naik Kereta.
Baiklah. Kita Berangkat. Ke Bandung yang menggelora dalam asa dan cinta!
Cerita tentang Bandung sudah saya ceritakan di babak sebelumnya. Kau mungkin bisa balik ‘kanan’ untuk bermain-main dalam kata penuh cumbuan asmara di sana. Sekali kau buka lembaran itu, sulit sekali kau hempaskan karena memang bumbu dalam meraciknya mungkin sekuat Dilan merayu Milea!
Taksi online yang membawa kami, parkir di depan pintu masuk. Bayangan saya soal stasiun kereta api yang ‘kumuh’ langsung buyar. Calon penumpang yang ramai dan suasana yang mirip bandara membuat kita bisa terlena di sini. Segala jenis makanan dan minuman bisa dengan mudah kau dapatkan. Siapa yang tidak mau merasakan Pengalaman Pertama Naik Kereta apalagi ke Bandung.
Dan, hei! Itu pengurus rombongan kami yang melambai. Katerina dan lain-lain sudah sampai terlebih dahulu padahal taksi kami berangkat duluan. Mungkin begitu pula dengan jodoh, datang cepat belum tentu bisa melaju kencang.
Saya celingak-celinguk melihat yang lain. “Buruan, Bai, cetak boarding pass di komputer itu!” entah Primastuti Satrianto atau Elvina yang berujar demikian.
Dalam bingung saya mengikuti Afit dan Maseko yang tentu saja sudah terbiasa dengan aktivitas di stasiun kereta. Jangan tanya Afit lebih banyak, ‘suhu’ yang cukup panas di dekatnya itu bisa dibilang sudah seperti naik sepeda ontel dari Yogyakarta ke Jakarta, dengan kereta api.
Kerjaan sampingan Afit. |
Di depan komputer yang sedang menge-print boarding pass kereta api adalah Febri, Dedew Rieka dan juga Kang Didno. Dedew Rieka membantu saya memasukkan nomor pemesanan tiket untuk selanjutnya boarding pass tercetak seperti mesin ATM.
Lucunya, Elvina yang sudah lebih dahulu mencetak boarding pass terkikik di samping kiri saya. Hacker cewek sebutan kami itu ternyata salah mencetak boarding pass, lembaran yang keluar adalah boarding pass untuk pulang dua hari lagi, bukan untuk pergi.
Kata Dedew Rieka, nggak masalah sudah tercetak. Tapi, jika nanti hilang bisa cetak lagi di hari keberangkatan. Elvina kemudian mencetak kembali boarding pass untuk pergi.
Duduk di kursi tunggu stasiun kereta api tidak serapi di bandara. Dian Radiata cuek saja melihat saya kelelahan. Padahal, jika mau membandingkan dirinya lebih ‘gagah’ dibanding saya yang menarik koper ke mana-mana. Dian cukup ‘menenteng’ ransel yang katanya tidak berat di punggunggnya.
Cukup sudah saya duduk di atas koper. Suara halo-halo dari cewek cantik di balik tirai itu memberitahukan kereta api apa saja yang baru tiba dan akan berangkat. Kami masih menunggu bos idaman, Bang Emmet, yang tadi izin pulang dulu ke rumahnya selepas acara.
Bang Emmet sampai, cetak boarding pass, lalu kami masih menunggu panggilan untuk masuk ke kursi menunggu kereta api di depat peron di atas sana – entalah di mana – beberapa menit lagi.
Sama seperti di bandara, kita diwajibkan membawa kartu pengenal dan memperlihatkan boarding pass ada petugas check-in. Setelah dipastikan sama, kita baru diperkenankan untuk menuju tempat menanti kereta api sesuai dengan gerbong yang tertera di boarding pass.
Karena gerbongnya panjang, kita harus teliti di gate berapa. Saya mengikuti Katerina yang sibuk mengurus kerepotan kami. Namun, foto selfie tetap bertebaran di mana-mana.
Selfie-nya tetap karena ada ratu selfie! |
Laskar jaket kebanggaan siap berangkat! |
Kami sempat bersenda gurau sebentar sebelum kereta api datang. Saya sudah tidak sabar untuk masuk ke dalam gerbong, mencari tempat duduk dan menikmati perjalanan!
Saya maunya seru perjalanan dengan kereta api ini!
Di dalam kereta api, saya duduk terpisah dengan yang lain. Beberapa kursi di depan ada Bang Emmet, Febri, Kang Didno dan Dian. Di belakang saya ada Katerina dan Elvina. Di samping kiri, Kang Didno dan Afit. Dan kawan saya? Adalah seorang cewek yang mendadak menawarkan senyum.
Afit cekikikan di belakang. Katerina bilang, “Pepet terus,” yang entah mereka foto candid atau didiamkan begitu saja. Mereka sukanya begitu, gemar membuat orang senang di atas penderitaan.
Ini lho di dalam kereta api. |
Masinis mungkin sudah membunyikan klakson. Saya yang gaduh sendiri mencari-cari seat-belt kemudian geram melihat Afit tertawa. Saya kira benar di tiap kursi ada sabuk pengaman, rupanya hanya ‘halusinasi’ Afit saja.
Kereta api mulai berjalan dari Stasiun Gambir menuju perhentian terakhir di Stasiun Bandung, setelah melewati beberapa stasiun lainnya.
Suara kereta api berjalan mulai bergerak. Tak lama jalan berliku mulai terasa. Mulailah saya apa adanya. Semula, dalam benak saya
itu naik kereta api kayak kita duduk manis di dalam pesawat terbang. Nggak ada goyang-goyang dan nggak ada ‘tanjakan’ apalagi berliku-liku yang membuat pusing.
Setengah jam berlalu, saya masih menikmati perjalanan. Namun makin jauh berjalan, saya mulai grasak-grusuk. Pusing dan mual!
Pemandangan dari dalam kereta api. |
Niat awalnya saya ingin sekali menikmati perjalanan, seperti orang lain yang santai saja di dalam kereta api, hilanglah sudah. Afit sibuk dengan gadgetnya seolah-olah nggak mau kehilangan ‘dolar’ sehari saja. Kang Didno juga mengetik di laptopnya. Katerina dan Elvina entah ngobrol apa di belakang saya.
Dalam mimpi entah ada dan tiada. Saya terbangun; lihat sekeliling. Tidur lagi; berharap mimpi indah, juga tak muncul. Terbangun lagi; pusing lagi. Tiba-tiba, Dian membangunkan saya yang tidur-tidur ayam jago untuk ke ‘restoran’ kereta api.
Saya lihat Afit sudah tidak ada di kursinya. Kang Didno terlelap, Elvina juga. Saya mengekor Dian diikuti Katerina ke restoran. Mungkin ada makanan lezat yang bisa menganjal perut yang mules. Dan mungkin juga bisa mencairkan suasana hati yang yang sibuk memikirkan pusing dan mual saja.
Di restoran sudah ramai penumpang lain. Afit duduk sendiri dengan makanan di mejanya sudah habis. Kami bertiga ikut memesan dan menyantap menu masing-masing. Di dalam kereta api, harga makanan jauh lebih mahal dibandingkan dengan di luar sana, sama dengan di atas pesawat udara.
Tetapi, bukan itu korelasi yang ingin saya dapatkan. Nggak mau juga ‘pelit’ sekali karena mungkin ini hanya seumur hidup naik kereta api atau mungkin cuma sekali mau makan di atas kereta api.
Pemandangan yang dilewati tidak lagi membuat mules karena kami mengobrol banyak. Cerita ini itu. Foto, buat video boomerang dan juga tertawa. Termasuk, belanja di mana nanti di Bandung!
Perempuan itu ke mana-mana tetap cantik ya! |
Bang Emmet datang belakangan, mau makan juga dan tak lupa dirinya buat video seorang diri. Ada pula seorang bapak dengan santai bekerja dengan laptop di salah satu kursi restoran.
Hampir satu jam kami duduk di restoran. Kata Dian dan dibenarkan sama Afit, “Kalau nggak mau diusir, pesan lagi!” entah kopi atau teh saja nggak masalah.
Selamat menikmati! |
Perut saya sudah agak mendingan. Pusing memang belum berkurang tetapi karena sudah kenyang bawaannya mengantuk saja. Balik ke kursi, saya langsung terlelap dan baru bangun lima belas menit hampir sampai ke Stasiun Bandung.
Naik kereta api pertama sekali dinikmati saja. Lima belas menit pertama untuk dinikmati perjalanan, lalu tidur sampai bangun lagi lima belas menit sebelum sampai tujuan. Toh, di tengah perjalanan cuma itu-itu saja yang dilihat.
Perjalanan 3 jam dari Stasiun Gambir ke Stasiun Bandung cukup melelahkan. Tetapi karena kursi penumpang yang nyaman membuat badan tidak begitu sakit. Saatnya kami berkeliaran di Kota Bandung yang romantis dalam dingin dan melankolis dan menyikapi perasaan. Nah, begitulah Pengalaman Naik Kereta Api.
Leave a Reply