Kehidupan Waria di Aceh ditawar Rp 1 Juta Lalu Dibuang oleh Keluarga

“Dia sanggup terima tamu banyak dalam semalam, nggak ada lelahnya dia main!” ‘main’ ya begitulah arah yang dituju. Saya menyelami apa yang dialami Senjakala seperti kata-katanya. Dia terusir dari satu kos ke kos lain karena tidak sanggup membayar biaya bulanan.

Dia menahan lapar sepanjang hari karena tidak ada selembar pun di kantong celananya. Dia harus puasa berhari-hari karena tidak ada ‘tamu’ yang bisa digaetnya untuk menyicipi sesuap nasi. Dia lantas sakit, terkapar di rumah sakit berkali-kali. Operasi lambung. Operasi usus buntu.

“Aku capek, Bang!” ujarnya kini. Di mana masa tak lagi bermuara baik kepadanya. Usai kejadian malam itu, dia tak lagi memoles diri dengan make-up atau pakaian wanita. Dia berjalan sebagaimana kehidupan normal. Berlari ke sana-sini untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi dia tidak tahu ke mana akan mewujudkan bahagia yang selama ini mengekang dalam dirinya.

“Aku kayak dikutuk oleh Tuhan, apa-apa yang ingin aku capai selalu ada rintangan. Aku nggak bisa bahagia sekali saja!”

“Jangan berkata begitu, Tuhan punya janji lain untuk kita!”

“Tapi, aku nggak dapat apa-apa. Aku selalu sial, aku selalu dapat hambatan, aku selalu menerima hukuman!”

“Ada masa untuk kita bersabar,”

“Aku sudah sabar, Bang. Aku selalu sabar bahkan sejak dia meninggalkan kami waktu kecil dan kawin dengan wanita lain!”

Saya yang menjadi bingung. Saya yang kalut untuk memecahkan harmoni menjadi melodi yang benar-benar indah didengar. Saya sudah tidak tahu menjalin keindahan, biarpun saya membagi sedikit berkah dari menulis untuknya tetapi itu hanya mampu membuat kehidupannya bertahan dalam satu dua hari. Setelah itu, tentu dia harus memikirkan kembali tentang isu perut yang tidak boleh kosong dalam waktu lama.

Kehidupan Waria di Aceh antara Profesi dan Harga Diri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *