Pekerjaan apa yang dia maksud, aku bingung menjabarkannya sampai sejauh ini. Dia memanjangkan rambut. Dia bersolek. Dia mengukir bibir dengan gincu merah. Dia memakai sepatu hak tinggi. Dia memakai pakaian wanita lalu menemani malam di persinggahan remang dengan tangan melambai!
Di waktu yang berbeda, di saat semua orang sibuk dengan apa yang dikejar. Saya lalu benar-benar paham saat dirinya menepi dalam sudut. Bukan sekali dua kali ia mengejar kerja ke warung kopi, menjadi sales, penjaga toko, atau apapun yang pernah ia hinggapi. Semua sama memberi jawaban, bahwa dirinya tidak mampu bekerja.
“Aku dianggap lemah, Bang!”
Pilihan yang tidak mungkin saya tebak akan ke mana. Tetapi pilihan itu kemudian bermuara kepada apa yang ingin dia capai. Dia kembali ke semula, bekerja seperti yang ‘enak’ didefisini segala kata. Dia menepi ke sudut-sudut kota saat jam malam membuat orang-orang bahagia dalam mimpi-mimpi mereka.
“Pelanggan aku banyak, dari semua kalangan!” saya tidak meminta detail tetapi cukup tahu maksudnya. Pelabuhan yang dia arungi kian bermuara ke sisi keinginannya. Tetapi dia tidak berubah. Kehidupannya tetap kacau seperti sediakala. Dia tidak berkecukupan. Dia tidak juga berada di atas awan meskipun tiap malam menerima banyak ‘tamu’ dengan bayaran tinggi.
“Si Nona – nama samaran temannya – sudah bisa beli sepeda motor dan tinggal di kontrakan mahal!” iri di hatinya ketika menceritakan kisah temannya, si Nona, entah siapa nama pria itu.
“Si Nabel – juga dengan bukan nama sebenarnya – sering keluar negeri bareng pacarnya!” tidak hanya iri, namun luka yang membara dari kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Aku kayak begini saja, aku selalu sial. Orang bilang aku cantik, tapi tetap saja aku nggak sanggup kayak si Nona, aku nggak dapat pacar kayak si Nabel, aku harus bekerja sampai pegal seluruh badan!”
“Sanggup bagaimana?” tanya saya.
Leave a Reply