“Nggak sempat. Mereka cuma kasih kesempatan sekali aku hubungi dia yang nggak mau kuhubungi itu. Saat itu pula aku hapus semua kayak BlackBerry Messenger, Line, WhatsApp dan Facebook, tapi foto-foto….,”
“Dan, dia datang?” tanya saya hati-hati.
“Dia datang. Dia marah-marah. Dia memaki aku. Dia membuat seolah-olah aku manusia paling hina di dunia ini. Dia lupa aku lahir dari spermanya!”
Kasar. Amarah. Begitulah yang saya baca dari raut wajah Senjakala. Kasih sayang yang tak pernah ia miliki. Keinginan yang sejatinya ingin ia gapai tetapi tak mungkin bermuara ke mana. Saya sebenarnya tidak memedulikan bagaimana kondisinya tetapi saya iba mengapa ia harus menjadi begitu, menjadi waria, seperti itu jika kamu menyebut kepada mereka yang demikian perangainya!
Kisah Waria yang Tak Dianggap oleh Keluarga
Mengulang kisah yang lewat, pada awal tsunami, mungkin pertengahan 2005, saya bertemu dengannya yang terbahak di depan kos saya. Dia pindah ke kamar di sebelah dengan segenap kemelut yang kemudian tersibak satu persatu. Dia duduk manis di dalam kamar kos tanpa berbuat apa-apa.
Dia keluar malam hari lalu pulang dengan lesu. Dia bekerja sebagai penjaga warung telepon (wartel), lalu berpindah ke kios kecil untuk menjual pulsa saat telepon umum tidak lagi bernyawa. Dia juga sempat berpindah-pindah kerja ke tempat-tempat yang saya tidak ketahui letaknya. Saya yang sibuk kuliah dan bekerja pada masa itu begitu cuek dengan kehidupan pribadi orang lain.
Dan, di situ semua bermuara menjadi nyata akan kehidupannya kelak. Dia tergopoh masuk ke kamar kos saya hampir dini hari. Saya yang baru pulang siaran malam di salah satu radio rasanya ingin segera mengusir dirinya. Tetapi, dia mempunyai kabar baik, menurutnya dan membuat kening saya berkerut.
“Aku jadian sama dia, Bang!” Tidak mungkin. Mana mungkin dia jadian sama sosok yang gagah perkasa demikian. Mana mungkin sosok gagah itu mau sama dia. Mana mungkin cowok yang dideskripsikan dalam kata-kata ‘sempurna’ itu mau menjalin kasih dengan sesama, ah, sudahlah.
Saya bingung memikirkan kata-kata yang sesuai, juga saya tidak mengucapkan selama untuknya karena lelah begitu menyesak dada. Di bait lain setelah itu, dia datang dengan raut wajah sendu.
“Bang! Dia itu cemburuan!” dia memulai pembelaan pada senja saat dia – mungkin – dengan kekasih tampannya telah jadian hampir dua bulan. “Dia main pukul dan tampar. Tahu nggak apa yang dia lakukan kemarin malam, dia tampar aku padahal aku lagi jalan sama kawan. Di mata dia, aku nggak boleh jalan sama siapa-siapa selain sama dia!”
Leave a Reply