Kehidupan Waria di Aceh ditawar Rp100 atau Rp1 Juta untuk Satu Jam Saja – “Bagaimana, Bang?” dia tergugu. “Aku sudah tidak tahan, tapi aku takut!” lanjutnya dengan meremas jemari lentik.
Kehidupan Waria di Aceh
Saya merayap malam yang kini terbelenggu dalam pendar-pendar cahaya tengah kota. Tentu, saya pun tidak ada alasan untuk membuatnya ‘mengaku’ pada sesuatu yang tidak hanya tabu tetapi akan dicaci maki suatu waktu – dalam waktu yang lama. Saya menanti, tidak memberi jawaban, karena pada beberapa pandangan, saya merasa ngilu untuk menerima setiap hentakan nada-nada dari kalimatnya yang serak.
“Kamu mau mulai dari mana, dari situ kita akan mengakhirinya?” bukan pertanyaan, saya hanya memberikan anggapan pula. Tetapi dia, memiliki pandangan-pandangan dari sudut mata yang mengalir butir-butir kerinduan. Saya ingin tahu dia rindu tentang apa, saya juga ingin menyelami mengapa rindu itu begitu kekal abadi dalam fana.
“Apa tidak apa-apa, Bang?” dia khawatir, saya meradang dalam gamang. Apa tidak apa-apa? Tentu akan kenapa-kenapa jika cerita itu bermuara entah ke mana. Saya tidak tahu bagaimana nanti mengakhiri sebuah pertikaian, bahkan kesenduan dari mereka yang semerbak hujat akan sebuah kehidupan orang lain.
Jika demikian, keputusan telah dibuat semena-mena, karena dia tidak tahu ke mana arah menepikan sedih, entah bagaimana sehingga cerita ini saya mulai dari sini!
Leave a Reply