Daftar Isi
Kapal Pesiar Chao Phraya
Saya mengira, sebentar lagi mata dengan tatapan sendu ini akan melihat gajah-gajah berdansa di pusat kota, berwarna putih dengan manik-manik emas di seluruh tubuhnya.
Saya sudah tidak sabar menanti momen berharga ini dan menikmati megahnya kemacetan di negeri yang sedang berkabung atas meninggalnya Raja Bhumibol Adulyadej. Raja yang sangat dibanggakan oleh rakyat Thailand dan merupakan raja yang paling lama berkuasa di dunia.
Perjalanan ke Kapal Pesiar Chao Phraya
Gemerlap Bangkok langsung terasa begitu pesawat yang membawa kami mendarat di Bandara Internasional Don Mueang. Antrian cap imigrasi yang tergesa-gesa dibumbui oleh petugas yang kurang paham bahasa Inggris.
Teman saya, Annafi, wanita berkacamata dari Jakarta yang lupa menambahkan hotel penginapan harus berdebat sambil terbata-bata dengan petugas imigrasi yang terus saja mengumpat dalam bahasa Thai.
Saya menunggu hampir lima menit di pinggir eskalator bersama Yogi dan Indah, sepupuan dari Yogyakarta yang kemudian menjadi akrab dengan saya.
Jalan berliku menuju kota Bangkok begitu menggelora setelah kami bersalaman dengan Freddy, teman baru yang menjadi guide di sesi cuci mata di negeri ini.
Gedung-gedung seumpama kotak-kotak misteri yang diisi oleh syair-syair yang tidak bisa saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tawa lelah langsung terkesima saat kami singgah sebentar di hotel sebelum bergegas ke hajatan utama, keliling-keliling kota dengan teka-teki penuh sensasional. Antusias saya ditanggapi syahdu oleh Juniawan, pria lebih muda dari Jakarta namun memiliki tubuh lebih besar dari saya.
Vika yang sudah pernah ke Bangkok sebelumnya, tampak lebih menikmati setelah lelah terbang dari Surabaya. Dan Nurul, yang kami sebut sebagai mother of the trip memang sangat keibuan menanggapi kami walaupun hatinya terpisah antara Bangkok dan Surabaya.
Siang yang sama teriknya dengan di Aceh tidak mengurung niat saya bergegas ke seluruh kota. Di mana-mana adalah hamparan gedung dan kemacetan yang semerbak harum kasturi.
Keliling Bangkok dengan taksi lalu berganti dengan kereta listrik, Bangkok SkyTrain (BTS), menjadikan pengalaman semanis madu, seasam jeruk nipis dan sepahit daun pepaya.
Antrian panjang di sore hari melebur dalam kepenatan anak sekolahan dan para pekerja. Sungai mahakarya di Kota Bangkok, Chao Phraya menanti kami.
Di sore itu, kami hanya keliling sungai dengan kesibukan yang membuat penasaran. Kapal-kapal yang dijadikan sarana transportasi begitu mewah di tengah-tengah kota.
Tempat perberhentian perahu ini bagaikan terminal yang disulap dengan indahnya. Tiap-tiap kapal yang berlayar di atas sungai ini akan berhenti untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang.
Malam di Kapal Pesiar Chao Phraya
Malam yang kemudian menyelimuti tubuh lelah kami, tak bisa ditepis untuk kembali. Malam ini pula yang menjadi sebuah pengharapan tertinggi untuk mengecap kemewahan di kota Bangkok. Teman saya, Fardelyn Hacky sempat berujar di media sosial dengan bangga dan senangnya.
“Kamu sudah ke Chao Phraya, Bai? Tempat itu adalah ikon kota Bangkok yang tidak bisa dilewatkan begitu saja!”
Saya tidak sempat membalas dengan segera pesan wanita ini karena jaringan internet harus menunggu Wi-Fi hotel. Saya baru memulai sebuah canda di media sosial, menyambung kata dengannya pada sebuah kalimat yang mengharu-biru.
“Saya sudah ke Chao Phraya, salam katanya untukmu!”
Mungkin, jika sungai ini benar bisa menitipkan salam, saya juga akan menitipkan sebuah kecupan untuk kamu yang sedang membaca ini. Sore yang menggelora dengan kesibukan kapal-kapal pengangkut penumpang, malam hari rupanya genderang bertalu-talu baru dimulai. Freddy yang jalannya begitu cepat membuat kami ngos-ngosan.
Saya baru tersadar bahwa itu untuk mengejar waktu, membeli tiket masuk ke kapal yang belum saya pikirkan bentuknya bagaimana. Saya cuma menawarkan diri di ingatan agar tidak berharap terlalu megah soal dinner.
Ekspektasi saya adalah makanan halal dengan bumbu-bumbu tidak pedas sama sekali. Namun, mata yang terbelalak seketika membuang lelah ke muara sungai yang lebih besar dari sungai di kampung saya yang sering menimbulkan banjir.
River City yang Indah Malam Hari
Saya baru menerka-nerka, ini bukanlah dinner dengan makanan soto ayam atau es campur saja. Makan malam ini akan dibumbui oleh percikan air sungai yang tak bisa tenang memeluk kapal-kapal yang gemerlap lampu dan musik menyentak-nyentak telinga.
Freddy tergopoh menjumpai kami di pintu kamar kecil, rupanya pria asal Indonesia yang telah bekerja di Bangkok ini sama tak sabarnya dengan kami.
Pria yang sudah bisa berbahasa Thai ini membagikan stiker dan tiket masuk kepada kami. Stiker berbentuk bulat telur itu harus ditempelkan di sisi pakaian manapun asalkan terlihat saat masuk ke dalam kapal pesiar.
Tiket Masuk dan Alunan Musik di Atas Kapal Pesiar Chao Phraya
Chao Phraya Princess II adalah kapal pesiar yang tidak terlihat di sore kami mengitari sungai ini. Mewahnya bagaikan alunan musik yang tak berhenti saat ia mampir sampai kami masuk ke dalam kapal. Beberapa penari menyambut kedatangan kami di pintu masuk.
Sorakan di mana-mana dan seperti ada kembang api diletuskan seketika. Saya bahkan merasa ini bukan malam biasa, ini seakan malam tahun baru atau malam-malam istimewa lainnya.
Langkah berdesakan ke dalam kapal pesiar dua tingkat ini disambut oleh pelayan yang terbata mengarahkan kami berdasarkan warna stiker dan nomor meja.
Saya yang berjalan di depan menyebutkan nomor meja dan langsung diarahkan ke lantai dua. Kekhawatiran sebelum tahu tempat duduk terjawab sudah. Lantai dua adalah tempat terasyik untuk menikmati kota Bangkok di malam hari.
Di sudut dekat DJ memainkan alat musik, di antara penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu barat, kami menikmati angin sepoi-sepoi yang auranya sama dengan di Indonesia.
Cocktail yang Menggoda Lidah di Atas Kapal Pesiar Chao Phraya
Saat yang dinanti tiba tak lama setelah genderang musik dikeraskan. Kapal pesiar mulai meninggalkan parkiran di River City. Musik bertalu-talu mengiringi perjalanan kami mengelilingi kota Bangkok yang gemerlap. Gedung-gedung tinggi masih menyisakan cahaya lampu, mungkin saja karyawan lembur mengejar deadline.
Kapal-kapal pesiar lain mondar-mandir di sungai yang airnya bagai ombak di lautan. Chao Phraya Princess II mulus membelah sungai yang bergelombang. Tawa di segala penjuru walaupun musik dikencangkan dengan ritme upbeat. Orang-orang mulai mengantri di meja prasmanan.
Saya, Vika dan Nurul mengambil kesempatan pertama dan yang lain menunggu di meja. Mata tak bisa menipu selera, namun hati tidak tenang untuk mencicipi segala rasa. Makanan-makanan mewah dari chef kelas atas tentu tidak bisa saya nikmati di kesempatan lain.
Label halal memang tertulis di salah satu sudut namun saya tidak berani mencoba terlalu banyak. Nasi putih tak mungkin saya hindari untuk stamina besok hari.
Sayur-sayuran yang tidak berminyak saya jamah. Daging ayam dan sapi tidak jadi saya ambil karena kekhawatiran ini dan itu. Lalu, udang panggang saya comot dalam jumlah banyak, sekitar lima biji, yang memenuhi piring.
Live music menemani dentingan piring dengan sendok. Lampu kerlap-kerlip bagaikan di dalam sebuah gedung pertunjukan musik. Freddy bolak-balik mengambil makanan, dan ia mengambil udang dalam jumlah banyak. Tidak mau melewatkan udang-udang itu, saya menyantapkan lebih banyak dan membuat rasa takut akan perkara penyakit karena banyak makan udang.
Makanan Halal di Atas Kapal Pesiar Chao Phraya
“Halal semua, Bang!” Yogi menimpali karena saya tidak mengambil menu yang lain. Saya tidak lantas bangkit dan mengambil menu-menu lezat lainnya. Hati saya lebih memilih udang saja yang dipanggang dengan lebih lezat. Chao Phraya Princess II bagaikan ratu yang memberikan kenyamanan untuk rakyatnya.
Selama mengitari kota Bangkok, musik yang menyentak, seruan di segala sudut, makanan lezat dan aliran sungai yang bersahabat, kapal pesiar ini pun lebih tenang dan nyaman mengarungi malam.
Makan malam romantis di atas kapal pesiar Chao Phraya, Bangkok, sebenarnya akan romantis bersama pasangan. Namun kesempatan saya kali ini tidak bisa digadaikan dengan apapun.
Kamu yang ingin menikmati romantic dinner di atas kapal pesiar selama 2 jam di Choa Phraya, tiket masuknya cukup mahal untuk ukuran traveling santai, yaitu THB 1.500.
Kamu tentu tidak mau melewatkan kesempatan emas ini jika ke Bangkok. Kalau bukan sekarang, kapan lagi menikmati gemerlap malam yang menggelora?
Lalu, bagaimana saya bisa ke Bangkok dan menikmati makan malam di atas Chao Phraya Princess II yang romantis? Saya mengikuti Priceza Indonesia Writer Hunt 2016 yang diselenggarakan oleh Priceza Indonesia. Perjalanan untuk sampai ke tahap expert writers tidak main-main.
Saya harus mengirimkan 50 artikel selama 2 bulan yang akan dimuat oleh website Priceza. Saya sempat menyerah karena beberapa artikel ditolak, namun saya tidak mau mengakhiri begitu saja perjalanan yang telah dimulai.
Priceza Indonesia menyediakan 8 kuota untuk penulis tercepat namun hanya 7 yang berangkat.
Traveling ke Bangkok menjadi pengalaman yang tidak bisa dilupakan karena yang namanya gratis tetap saja manis walaupun banyak gulanya. Selain jalan-jalan dan makan gratis, kami juga diberikan uang saku sebesar THB 5.000 untuk masing-masing penulis.
Leave a Reply