Corona usailah sudah, namun asa tetap menggapai cita di tanah bekas tsunami Aceh 2004 silam. Jalan lintas Provinsi Aceh menjadi saksi berkembangnya sebuah usaha kecil dari keluarga Muftianah, di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Ibu Ana sebutan untuk dirinya. Dalam keseharian ia sama seperti perempuan lain di desa tersebut. Di suatu masa, ada niat dalam hati terdalam untuk membantu perekonomian keluarga dengan usaha kecil-kecilan. Sebutnya, “Awal mulai usaha yaitu coba-coba untuk makan sendiri, lalu dikasih ke tetangga dan kawan-kawan, katanya enak jadinya dijual ke pasaran,”
Usaha kecil menengah Ibu Ana adalah keripik tempe yang terkenal di Aceh Barat. Dengan kemasan yang bagus, sudah memiliki merek sendiri dengan nomor LPPOM 14100000221217. Keripik tempe itu juga diberi label, IBU ANA.
Renyah dan Segar IBU ANA
Jika kamu keliling Meulaboh, Aceh Barat, dan beberapa kota lain di Aceh – kecuali Lhokseumawe, Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara – keripik tempe IBU ANA adalah andalan untuk jajanan selama dalam perjalanan, maupun sambil canda gurau.
IBU ANA bukanlah usaha yang lantas jadi sebesar-besarnya layaknya UMKM yang diapresiasi tinggi. Ada usaha, adalah hasil yang nyata. Saya kembali menyebut Muftianah, agar bisa membedakan nama merek dan pemiliknya, dalam ceritanya yang sendu mengurai sebuah janji.
“Disamping mencari rezeki, usaha pastinya, dan pernah lihat di Meulaboh belum ada keripik tempe yang seperti ini. Karena tidak terlalu susah dikembangkan, juga nggak ada orang lain yang menjadi pesaing keripik tempe ini dibuat untuk pasar Aceh Barat pada awalnya, tujuannya sama-sama memajukan ekonomi terutama keluarga sendiri terlebih dahulu,”
UMKM milik Muftianah dan Ajruri ini sudah berjalan sejak 2017 lalu. Ia menegaskan, sebuah proses yang panjang dan mengalami kendala yang berarti dalam menjalankan bisnis. Keripik yang makin dikunyah, makin menggoda selera itu rupanya akan terkendala produksi jika 2 orang pekerja saja libur dalam sehari. Bahkan, “Musim hujan juga bisa menjadi kendala, masalahnya tempe belum siap digoreng (dimasak) karena masih belum ‘matang’,”
Kriuk keripik tempe IBU ANA mengundang selera makan penggemarnya. Rasanya benar-benar pas. Mulai dari teksturnya yang renyah, rasa yang tidak terlalu asin, penyedap yang tak begitu terasa, bawang putih yang segar-segar empuk, dan juga kemasan yang tahan lama, membuat IBU ANA sangat dikagumi sebagaimana produk terkenal lainnya.
Jika kamu memilih keripik tempe bermerek dengan kemasan banyak animasi maupun gambar menarik, IBU ANA hanya memiliki sebuah ‘tempelan’ kuning saja yang berisi komposisi, UMKM produksi yaitu Mufti Mandiri, LPPOM, dan logo IBU ANA dengan background merah putih, serta logo label halal berbentuk bulat.
Simpel namun dinamis dengan rasa. Saya sendiri sering membandingkan (meski tidak bermaksud demikian) antara IBU ANA dengan merek A terkenal itu. IBU ANA lebih renyah, empuk, dan asin (penyedap rasa) hanya sedikit bahkan sesekali terasa. Jika makan keripik tempe merek A misalnya, sedikit saja digigit sudah langsung terasa penyedap atau pengawet makanan.
Rasa lokal memang tidak bisa ditipu. Ciri khas Ibu ANA tidak saja mengubah gaya hidup sehat tetapi membawa kita pada pilihan yang lebih baik, tentu tidak saja sehat namun membantu UMKM yang membutuhkan pijakan agar terus berkembang. UMKM Mufti Mandiri tidak saja menopang hidup Muftianah dan keluarganya tetapi 9 pekerja lain yang sejak subuh sampai malam bekerja maksimal.
“Pekerja ada 9 orang. 3 orang sebagai pembungkus bakal untuk pembuatan tempe, 2 orang memotong tempe yang siap digoreng, 4 orang bagian penggorengan. Posisi mereka bisa ditukar sesuai kebutuhan tetapi nggak semua orang ahli pada semua bagian seperti bagian pemotongan yang terkenal agak sulit. Kalau agak susah terpaksa terjun sendiri dibantu sama Bapak (suami),”
IBU ANA dan Alternatif Kemajuan UKM dari Desa
Keripik tempe model IBU ANA memang sudah ada di pasaran, seperti yang saya sebutkan tadi dari merek tertentu. Namun, IBU ANA tidak pernah gentar untuk bertarung. “Dalam berusaha jika gagal, coba lagi, dan coba lagi, niscaya akan menemui jalan sukses. Jika gagal dan berhenti di situlah kita menemui jalan buntu!”
Benar saja. IBU ANA menjadi terkenal karena rasa dan ciri khas yang diinginkan oleh banyak orang selama ini. Terkadang, kita tidak diberikan pada pilihan karena satu merek mendominasi. Dengan hadirkan IBU ANA dengan tempe lebih renyah, lebih tipis dan tidak begitu banyak penyedap rasa, kita berani menarik sebungkus IBU ANA dari rak minimarket meskipun ditempatkan di sudut ruangan, tertutupi dengan merek terkenal dari produsen besar.
Laku keras maka dicari!
Itulah IBU ANA. Meskipun merek terkenal dengan promosi di televisi dan media lain begitu besar-besar, IBU ANA sanggup menggeser kemasan merek A ke rak bawah. Salah satu alasannya tak lain karena orang mencari bukan karena dominasi merek tertentu di pasaran.
Sama seperti kita pergi ke sebuah swalayan, kita bertanya, “IBU ANA ada?” maka seketika IBU ANA akan ditempatkan di rak atas agar terlihat oleh banyak calon pembeli. Di awal mungkin susah, makin ke sini tampaknya makin menarik minat konsumen meskipun kemasan sangat monoton.
Untuk sukses itu, Muftianah berujar, “Rahasia usaha ini tekun dan sabar. Sejak awal pembuatan keripik tempe, pemotongan sampai penggorengan butuh ketelitian dan kesabaran!”
Benar saja. UMKM yang kecil itu harus bekerja lebih lama dibandingkan pabrik besar. Mufti Mandiri memulai produksi dengan membeli kacang kedelai terbaik, merendamnya selama 3 jam, digiling agar terpecah menjadi dua bagian, didiamkan selama satu malam agar kulit terpisah dengan dagingnya, mencuci dan memisahkan daging dari kulit.
Proses berikutnya adalah pengukusan selama 25 menit, pendinginan, pengadukan kacang kedelai dengan ragi dan tepung kanji, adonan keripik tempe dicetak menggunakan plastik persegi panjang bulat, kemasan bakal keripik ditusuk agar masuk udara sehingga terhindari dari pembusukan, bakal keripik tempe ini digantung pada rak khusus selama 2 malam.
Setelah itu, dipotong tipis-tipis, direndam dengan bumbu dari bawang putih, garam dan penyedap rasa sebelum digoreng, disimpan dalam plastik besar, dikemas dengan kemasan berbagai ukuran dan dilaminating agar tidak masuk angin.
Keripik tempe IBU ANA siap dijual!
IBU ANA memiliki 4 paket penjualan. Kemasan 125 gram dijual dengan harga Rp8.000, kemasan 250 gram dengan harga Rp17.000, kemasan 300 gram dengan harga Rp25.000, dan kemasan 500 gram dengan harga Rp35.000.
Dalam membantu 9 pekerja setelah badai Corona, IBU ANA terseok-seok untuk bangkit. Muftianah berkata, selepas pandemi sudah ada beberapa merek UMKM lain yang menjual keripik tempe mirip dengan dirinya. Ia menegaskan itu kompetitif. Ia harus berkompetisi lebih baik dan inovatif lagi.
“Harapan ke depan agar bisa menjangkau seluruh Aceh, dan bisa keluar Aceh, serta bisa ke luar negeri!”
Jiwa gotong royong yang diamanahkan oleh Muftianah kepada 9 pekerja di rumahnya menjadi modal ikhlas IBU ANA berkembang. Seperti yang sudah saya sebutkan, saat ada pekerja yang izin, pekerja lain akan menggantikan posisinya tanpa pamrih.
Saat bakal tempe harus dibungkus, kesembilan orang itu bisa saling bekerja sama agar pekerjaan cepat selesai. Kembali lagi, satu hal yang jarang dikerjakan bersama-sama, harus pekerja berpengalaman dan profesional yaitu potong tipis tempe tersebut.
“Tidak semua orang mampu memotong tipis, saya sendiri butuh jam kerja lama agar benar-benar tipis!”
Mungkin, Muftianah mengeluh, “Nama juga usaha kecil-kecilan, kami belum sanggup membeli alat potong tempe…,”
Potong dengan cara manual saja sudah sangat tipis sehingga rasanya begitu renyah. Itulah kesabaran dan ketelitian yang diajarkan oleh Muftianah kepada pekerjanya. Sikap yang patut dipertahankan sehingga IBU ANA menjadi salah satu keripik paling dicari meskipun keripik serupa sudah ada yang menjualnya kini.
Muftianah dengan segenap daya mempertahankan ciri khas, kolaborasi dalam bekerja sebaik mungkin, dan menghargai tiap orang yang terlibat dalam usaha mandiri keluarganya. Mereka saling membantu satu sama lain soal kerjasama, dan juga profesionalitas (dibayar gajinya secara adil).
IBU ANA telah bangkit menjadi sebuah UMKM yang disegani. Bangkit bersama meski telah dihajar corona. Tak jemu membantu meskipun baru ‘sembilan’ orang saja. Dan memberikan alternatif kepada calon pembeli dengan rasa berbeda dari yang sudah ada di pasaran sampai sejauh ini.
Inspirasi dari Ibu ANA adalah daya tarik untuk menyambung kebahagiaan antar sesama. Cerita ini saya bagikan untuk JNE yang sedang menebar energi positif dan optimisme bagi masyarakat Indonesia di usianya ke 32 tahun dalam tema ‘Bangkit Bersama’. Semoga asa menjumpai pelaku UMKM di manapun berada!
Leave a Reply