Faktor Tidak Hormati Guru oleh Siswa Disebabkan Karena Ini – Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan. Demikian, bunyi al-Quran Surat al-Alaq ayat 1. Anjuran pertama untuk membaca yang kemudian dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran.
Daftar Isi
Faktor Tidak Hormati Guru
Wahyu pertama yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. di Gua Hira’ menjadi pedoman dalam belajar – menuntut ilmu. Sejatinya, belajar menjadi pokok masalah pendidikan kita saat ini. Dalam konsep keilmuan, belajar ditafsirkan sebagai tata cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu alam.
Kisruh yang kemudian menjadi perdebatan adalah saat pembelajaran secara tradisional dan pendidikan terkonsep matang dalam kurikulum, yang sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, dipandang tidak sejalan. Di mana, tarik-ulur sebuah pembenaran menjadi ‘hukum’ halal atau haram belajar ilmu alam.
Santri di pendidikan nonformal seolah-olah didoktrin untuk menyebut, pendidikan umum – ilmu alam – tidak akan dibawa mati (akhirat). Sebaliknya, siswa di sekolah berlomba-lomba mendapatkan nilai, belajar dari satu tingkat ke tingkat lebih tinggi, menjadi sarjana, sebelum mendapatkan pekerjaan layak dalam memenuhi hajat hidup lebih baik.
Perbedaan yang kentara sekali justru terjadi dalam sikap santri dan siswa. Santri masih sangat patuh kepada pengajarnya di pendidikan nonformal. Meskipun terdapat anggapan keliru, santri tidak akan berkutik untuk menyanggah dan cenderung kualat jika berdebat. Sebaliknya, di pendidikan formal, siswa yang dinina-bobokan oleh pengaruh zaman, kian tergerus emosinya untuk mengkritik bahkan telah lupa tata cara hormat kepada guru.
Hormati guru. Hormati guru. Hormati guru.
Meskipun sampai seribu kali saya menulis kalimat yang sama, perilaku ahli di luar perkarangan sekolah menjadi sebuah pembenaran atas tindakan seorang guru yang dipandang salah. Siapa saja boleh berpendapat dan menyalahkan guru.
Namun jangan pernah lupa dari jam 07.00 pagi sampai jam 14.00 siang, mereka yang acapkali lantang berbicara menitipkan nasib anaknya kepada guru. Guru tidak hanya mengajarkan membaca semata tetapi telah berbicara soal masa depan bahkan cita-cita anak yang dilupakan orang tua di rumah.
Penguatan pendidikan di sekolah nonformal dan formal sebenarnya telah terarah sesuai bahan ajar yang baku. Semua berpaku kepada ‘Iqra’ atau bacalah atau diminta kita membaca. Makin banyak membaca maka makin bertambah ilmu.
Konsep dasar dalam pendidikan yang sebenarnya di manapun tempat belajar adalah sama. Meskipun seseorang telah mendapat gelar profesor, tanpa membaca, status keilmuannya patut dicurigai antara benar atau khilaf mendapatka titel tersebut.
Fenomena yang kemudian terjadi saat ini adalah ikut campurnya orang tua dalam kelangsungan pendidikan. Isu Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi tunggangan yang membenarkan segala bentuk tindakan.
Orang tua seolah-olah lupa bahwa tiap semester anaknya mendapat nilai merah. Kebaikan seorang guru yang mengubah nilai menjadi hitam sesuai keinginan kurikulum dan juga orang tua tak pernah mendapatkan ucapan terima kasih.
Menguatkan Pendidikan Bisa Lemah Karena Efek Semua Tahu Orang Tua
Guru yang diam dianggap lemah padahal diamnya seorang guru dalam menerima sebutan babi, anjing, mati kau, dan ragam kosa kata lain karena ‘menghormati’ orang tua anak yang sok berkuasa.
Simpel saja soal hormat-menghormati ini. Terserah anak-anak bisa apa, atau cuma bisa memukul bola voli saja. Kalimat-kalimat ejekan dan cemoohan dari siswa tentu berangkat dari rumah yang orang tua abai – bahkan pura-pura tidak tahu. Guru yang sekali menyentil karena anak tidak mengerjakan tugas, mungkin karena ribut di kelas, lantas menjadi pelampiasan dari mati kau atau anjing kau.
Memang, saya akui sangat kasar sekali. Bahkan, saya malu untuk menulis di sini karena orang tua yang memiliki titel doktor, mungkin juga tokoh masyarakat tidak akan pernah menerima pembelaan seorang guru. Namun, pernahkah kami merekam ucapan culas tersebut? Tentu, saya tidak – entah bagaimana dengan yang lain.
Saya biarkan karena berpikir bahwa anak-anak memiliki mental tersendiri dalam menghadapi tabiat mereka. Berangkat dari nama-nama binatang itu, guru yang tidak sanggup menerima barangkali akan mencubit, bahkan sampai memukul.
Buru-buru orang tua datang karena fisik anaknya telah lembam. Maka, guru ‘dianiaya’ ke kantor polisi, meninggalkan tugas mengajar 9 kelas dengan siswa masing-masing kelas 27 orang. Putusan terakhir adalah divonis bersalah karena ‘mencubit’ anak rangking 30 dari 30 siswa di kelas tersebut!
Saya selalu berkata kepada siapa saja, jika ada yang bertanya soal pengalaman mengajar. Saya berani menjamin, anak-anak pintar dan rangking tak pernah mengumpat dengan nama-nama binatang atau kalimat lain yang dilupakan guru begitu saja. Niscaya, anak-anak yang butuh perhatian adalah mereka yang perkalian angka 5 saja dibuatnya jadi penjumlahan.
Guru tidak akan mampu menguatkan pendidikan ‘seorang’ diri tanpa dukungan orang tua. Ikut campurnya orang tua karena merasa telah hebat mengenal anaknya. Kembali lagi bahwa anak-anak akan takut kepada orang tua daripada guru yang mereka nilai hanya ‘mengajar’ di dalam kelas.
Murka orang tua tidak akan dikasih smartphone, hasilnya tidak bisa bermain game atau mengumpat di media sosial. Marah orang tua tidak akan dikasih jajan harian yang berakibat anak-anak ini merampok tas anak-anak pendiam di dalam kelas.
Namun, marahnya guru tetap akan memberikan nilai kepada anak bandel sekalipun sesuai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Selain karena tuntutan kurikulum juga supaya naik kelas atau lulus ujian akhir nantinya.
Menguatkan Pendidikan dari Belajar Proses Bukan Nilai Akhir
Anak-anak seolah melupakan proses mendapatkan nilai itu sendiri. Bagi mereka, dapat nilai sempurna adalah kebanggaan meskipun pengetahuan yang diterima hanya sedikit. Apapun cara dilakukan agar bisa menaikkan nilai.
Saya melihat anak-anak yang tidak menikmati proses belajar itu sama sekali, tidak mencintai pelajaran – satupun. Hal ini terjadi karena sejak awal masuk kelas telah dituntut nilai sekian agar bisa lulus, nilai begini tidak akan mendapatkan rangking dan seterusnya. Proses belajar mengajar yang seharusnya ‘dienakkan’ dengan bersenang-senang menjadi sangat monoton.
Guru tidak dihormati. Siswa santai, terkantuk-kantuk, tunggu jam istirahat untuk main voli dan bel pulang. Akibat guru ‘lemah’ yang tidak dihormati ini pula proses pendidikan kita sangatlah berada di ambang batas. Belok kanan hutan belantara. Belok kiri jurang terjal. Lurus saja tak mungkin kena siswa karena bui yang mengakhiri karir dengan mudah.
Proses dan proses. Anak yang tidak bisa hapal perkalian, dikasih hukuman berdiri, pulang ke rumah lapor orang tua. Anak yang tidak bisa membaca ayat al-Quran, juga diberi hukuman, pulang ke rumah menangis di pundak orang tua. Lantas, proses apa yang mereka nikmati?
Tidak ada. Orang tua dengan bangga, penuh keangkuhan datang ke sekolah dan menuntut guru dimaksud. Sedangkan guru, sama sekali tidak meminta anak-anak menghapal perkalian atau membaca ayat al-Quran di depan orang tua, karena masih mempertimbangkan rasa malu si anak.
Demikian ribetnya konsep di kehidupan nyata sehingga pendidikan tidak dinikmati sebagaimana mestinya. Buah jambu butuh proses sebelum bisa kita makan. Kue pie membutuhkan proses panjang agar bisa dihidangkan. Pendidikan yang berproses dari awal sampai akhir sebenarnya adalah milik mereka yang tidak cengeng dan tahan banting.
Dalam berproses ini pula pendidikan butuh sosok yang tegas, berani mengambil tindakan meskipun nantinya orang tua berbondong-bondong ke sekolah. Sekali lagi saya tegaskan, anak-anak yang kena getah tak lain mereka yang duduk paling belakang dan rangking terakhir.
Pendidikan zaman dulu dikenal sangat keras meskipun ‘hanya’ Kurikulum 1994 saja dengan titel CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA kemudian diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Abis karena didominasi mengajar dalam kelas dan mencatat. Tetapi, kerasnya guru dalam mengajar menghadirkan generasi yang hormat terhadap guru. Anak tidak bisa hapal perkalian lantas dipukul pakai rol, pulang ke rumah akan mendapatkan cap jari lima di pipi.
Proses ini yang telah hilang dari pendidikan kita. Anak tidak hormat, saat disuruh maju ke depan akan mengejek guru dengan hapalan nama binatang. Saya tidak memberikan gambaran bahwa pendidikan saat ini tidak bagus tetapi hilangnya proses karena tindakan-tindakan dari mereka di luar pagar sekolah.
Guru ciut. Guru tidak dihormati karena siapa? Baiklah tidak kita salahkan orang tua yang gemar melapor polisi. Namun kehati-hatian guru dalam mengajar dan menegur saat ini telah membuat buram pendidikan kita.
Serahkan anak kepada guru lalu lupakan. Baiknya kita kembali ke konsep, guru tak pernah salah atau guru selalu benar. Konsep zaman dulu yang ditakuti banyak orang ini tak lain senjata mematikan untuk menyukseskan generasi.
Tak mungkin guru mengajarkan kejelekan karena kurikulum terintegrasi dengan nilai kognitif, afektif dan psikomotor. Jangan pernah mendikte aturan sekolah karena itulah kebaikan untuk anak kita. Jikapun guru bersikap jahat, telah dipasang CCTV tiap kelas lalu disebarkan kepada orang tua yang ngotot anaknya baik.
Pendidikan kita tak akan pernah kuat selama guru tidak dihargai. Apabila konsep yang ada saat ini terus menjadi ketakutan tersendiri, pendidikan yang baik akan menjadi kenangan terindah di Indonesia.
Leave a Reply