Efek Corona Bukan Milik Ojek Online Saja, Guru Honorer Bahkan Lebih – Selama ini, kita tahu sama-sama bahwa Corona Covid-19 itu sangat berbahaya. Saya mau berbagi sedikit tentang pekerja informal yang sama sekali nggak ada gaji bulanan, yang bahkan kurang mendapat perhatian dari pemerintah yang berkuasa dengan jahatnya di negeri ini. Negeri kita terlalu bertele-tele terhadap ‘bayaran’ dan melambungkan diri sedangkan jiwa mereka lupa bahwa suatu saat akan mati.
Entah ber-Tuhan atau tidak, entah percaya takdir atau nggak sekalipun; kau akan mati walaupun bukan ke neraka dan surga sebagaimana pemahaman selama ini. Saat mengisi tangki sampai perut membuncit, dengan wajah polos tanpa dosa, memang tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena, harta punya, tahta apalagi, saat sekarat baru tahu rasa sakit itu sangatlah kejam.
Tak ada yang menyangka Fir’aun yang gagah sekalipun langsung tenggelam di dalam Sungai Nil. Sejarah akan menjerit manakala bercerita tentang Dinasti Abbasiyah yang hancur berkeping-keping setelah 900 tahun lebih lamanya. Padahal, Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Farabi, al-Kindi, Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd serta kemahsyuran Harun ar-Rasyid yang tak terbantahkan.
Baca Juga:
|
Tahta, napsu serakah dan kepongahan membuat Bagdad berkeping-keping. Perpustakaan terhebat di dunia lenyap seketika – dengan buku-buku dan kitab-kitab ilmu dicuri oleh penjiplak dari barat yang kemudian mengatasnamakan diri mereka sebagai ilmuwan sejati.
Yang hancur bukan pada masanya atau habis jayanya. Yang hancur karena kezaliman pemimpin suatu negeri karena tidak becus mengurus rakyatnya. Mereka yang kena suap membela. Mereka yang mendapat jatah bersuara dalam dukungan. Mereka yang sengsara dibuat mati semati-matinya manusia padahal Tuhan belum mengetuk palu untuk ajal mereka.
Nah, sampai di sini. Dalam cobaan panjang isu Covid-19 yang entah benar atau konspirasi, kita melihat sendiri bagaimana kejamnya negeri dalam mendidik anak bangsa. Kau mau makan, carilah sendiri dalam gelap. Kau mau melapor, bungkam dulu suaramu karena dengan itu adalah senjata untuk dimasukkan ragamu ke dalam bui meskipun tindakanmu tidak mempengaruhi sama sekali.
Kita dipenggal hidup-hidup dalam contoh ojek online saja yang mendapat perhatian. Mereka bersuara atas dasar melarat untuk diri mereka sendiri. Manusia yang lupa bahwa di bawah mereka masih banyak orang lain yang justru melarat tetapi diam seribu bahasa. Mereka butuh perhatian karena butuh makan, lantas siapa yang di bawah mereka tak butuh makan.
Jangan bertele-tele urusan perut, kawan. Kau belum tahu, atau cuma merasa bahwa diri sendiri saja yang sengsara lalu protes, melapor dalam iba, dan lantaran memiliki kuasa langsung mendapat bantuan atau bahkan kucuran dana.
Lalu, bagaimana dengan deritan hati kami yang ‘namanya’ saja tidak terdaftar di mana-mana. Honorer yang bekerja membabi-buta, tidak di-PHK tetapi dibungkam jiwa dan raganya. Pekerja lepas yang pekerjaannya satu persatu harus dilepas, mau makan batu masuk ke mulut saja tak mempan apalagi harus dimasak hidup-hidup akan ‘bernyawa’ dan dipotong-potong seperti pizza kesukaan orang kaya.
Hidup di masa sulit, Covid-19, ini bukan cuma milik ojek online saja yang mana pemimpinnya adalah bagian dari pejabat negeri yang diberikan jabatan bukan atas kemampuannya. Orang yang tidak bisa masak, disuruh masak, kau akan rasa asin bahkan hambar suatu makanan. Tiba, ojek online melapor kehidupan mereka sengsara sejadi-jadinya padahal cuma pura-pura, bala bantuan langsung datang bertiba-tiba. Saat guru honorer menjerit dalam negeri, yang saya tak mau sebut nama itu berujar dalam hati, kau siapa.
Begitulah kehidupan kita yang sudah semraut dan makin perih ditambah dengan media massa memuat berita klik bait. Tak ada yang mesti dipercaya dari kabar berita saat ini. Media online hanya butuh klik pembaca agar Google Adsense masuk ke rekening mereka. Tak perlu akal sehat untuk memuat berita, comot foto dari media sosial pun jadi asalkan mereka itu bisa menaikkan berita sehari ratusan judul. Dengan catatan, 300 sampai 500 kata sudah cukup agar terindeks dengan baik di halaman mesin pencari – Google yang pasti.
Semenit lalu berita online nasional menulis tambah 1 atau 2 Covid-19 di skala nasional. Tak berselang detik, berita itu langsung diralat, bahkan ‘cuma’ 0 peningkatan dari orang yang terinfeksi virus mematikan itu padahal tidak seperti demam berdarah yang dalam 24 kurang langsung mati orangnya. Apa yang media ini dapat selain keuntungan bertubi-tubi. Makin dihujat pembaca, makin banyak share ke media sosial, banyak banyak klik, dan makin gemuknya rekening tiap tanggal 20.
Siapa yang jadi penengah ketika hidup jadi sangat gampang begini? Derita yang ojek online sebut hanya untuk mereka. Bukan pula mereka saja yang miliki keluarga untuk dihidupi. Berita yang dikarang asal jadi sudah tak ada tanggung jawab karena redaksi juga butuh duit. Asal ada berita, publikasi, urusan salah belakangan karena mudah saja klarifikasi beberapa menit kemudian.
Siapa yang memberi contoh. Saya juga tidak tahu. Atau kita sama-sama tahu. Semenit lalu menyebut nggak boleh, semenit kemudian berujar boleh. Itulah ajaran sesat yang kini berkeliaran di negeri kita. Mau ke mana, saya juga tak tahu. Kau punya jalan sendiri. Langkah itu yang menuntun kepada mati atau tidak sama sekali.
Efek Corona itu panjang. Asal kau tahu. Longlongan ojek online karena mereka sadar diri ada penguasa yang membantu. Jeritan guru honorer hanya angin lalu meskipun pemilik ojek online itu adalah bapak menteri. Kau sekarat, kenapa nggak mati sekalian. Mungkin demikian penutup ungkapan manis dari para penguasa negeri yang sedang bersenang-senang.
Bom jatuh tinggal meledak di negeri kita. Dinasti Abbasiyah dengan kuasa yang hebat bisa rapuh, apalah arti Indonesia yang baru 70-an tahun ini. Karam sudah meskipun belum tenggelam. Tanya kenapa, jawabnya penguasa kita sedang bermain-main atas nama Tuhan di atas segalanya!
Leave a Reply