Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien dan Simalakama Perempuan Dapur, Kasur dan Sumur

Perempuan itu; dapur, kasur dan sumur. Perkara yang dielokkan oleh orang-orang dengan atasan keren, dan bawahan perkasa. Perempuan dipandang sebagai sosok yang kerjanya kalau bukan di dapur, dan sumur, tentu saja di kasur untuk membuat kaum perkasa terbang mengangkasa. Apa demikian juga bagi Cut Nyak Dien?

‘Kodrat’ Perempuan pada Dapur, Kasur dan Sumur

Perempuan dapur; di pagi hari, saat kaum laki-laki masih berselimut, perempuan sudah tergopoh-gopoh menyiapkan sarapan, bekal makan siang, dan juga baju sekolah untuk anaknya.

Tabung gas dengan amunisi tempur padam tiba-tiba, ia harus membuka gudang belakang rumah, dalam remang pagi sedang di masjid masih terdengar suara mengaji. Ia mengangkat tabung 3 kilogram itu, dibuka penutup warna birunya, dipasangkan ke selang yang menghubungkan tabung dengan kompor gas.

Ia membaui di sisi tabung gas, kiranya sudah aman barulah ia memantik konektor di kompor gas agar api kembali menyala. Dalam suara klik, minyak yang melahap ikan, tak juga membuat laki-lakinya bangun untuk membantu, sekadar menjemur pakaian yang sudah ia cuci semalam.

Perempuan sumur; perempuan bahkan tak ada waktu untuk tidur nyenyak. Kalau kata orang tidur ayam, tidurnya perempuan adalah permisalan ini. Di malam yang mestinya istirahat, ia harus menyikat baju anak-anak yang seharian bermain kotor, baju putih suami yang hampir berubah warna juga wajib dicuci sesegera mungkin. Lihatlah sebuah keranjang di sudut ruangan, kain kotor bertumpuk tak bertuan.

Suami pulang kerja, lempar baju dan celana ke keranjang itu. Suami pulang main bola, baju berlumpur juga meninggalkan jejak di sana. Anak-anak baru main sepedaan sore hari, baju berkeringat diletakkan tanpa rapi di dalam keranjang.

Perempuan yang enggan melihat rumah berserak dengan pakaian kotor, ia pun mengangkat keranjang tersebut ke sebuah ruang sempit dengan sumur ada di sana.

Baju tanpa noda bolehlah masuk mesin cuci. Baju dengan noda lumpur dari lapangan bola, atau baju putih yang hampir berwarna kuning. Apakah juga masuk mesin cuci? Tugas laki-laki setelah itu adalah memarahi karena pekerjaan istri yang tidak beres di matanya.

Perempuan kasur; malam yang panjang, harusnya perempuan terlelap dengan mimpi indahnya. Di saat mata telah terpejam, cumbuan datang tak bisa dielak. Perempuan yang menolak ajakan suami disebut, durhaka, sedang suami yang tak pernah membantu istri tetap kepala rumah tangga.

Kasur empuk yang berderit adalah irama yang harus dinikmati perempuan, lelah atau sangat lelah. Perempuan kita tidak bisa menolak sama sekali, meskipun hasrat ada tetapi lelah sangat nyata, kebutuhan biologis suami yang tanpa lelah itu haruslah sepadan untuk rumah tangga harmonis.

Ini masalah. Di kita. Pada abad modern dengan pemikiran sekuler sekalipun. Kadangkala, orang-orang masih memandang bahwa dapur, kasur, dan sumur adalah kodrat dari seorang perempuan.

Tampaknya, hal ini sangat keliru ketika melihat kodrat perempuan sebenarnya adalah menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat laki-laki tak lain menafkahi anak istri, bahkan suami wajib membersihkan rumah, mencuci pakaian, sampai memasak. Bagaimana jika tidak sempat? Maka, bayarlah orang untuk memenuhi kebutuhan tersebut!

Cut Nyak Dien dan Kesetaraan Sejak Dulu

Cut Nyak Dien itu pergi ke medan perang. Sejarah tak pernah terbantahkan. Perempuan perkasa dalam memperjuangkan Aceh dari Belanda setelah kaum borjuis masa itu melanggar perjanjian Traktak Sumatera dan Sultan Aceh dengan mengakui kedaulatan Belanda di Tanah Aceh.

Perempuan bernama Cut Nyak Dien tidak diam dengan urusan kasur tiap malam, sumur tiap sore, maupun dapur tiap pagi. Perempuan dengan songket menyibak bahu, selendang membentang kepala, dan sebuah rencong untuk memerdekakan diri dari ketidakeadilan.

Kita tahu sendiri bahwa Cut Nyak Dien berjuang melawan Belanda dari tahun 1873-1904. Pasukan Aceh itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain agar mata Belanda tidak mudah melacak. Strategi yang cerdas, cadas bagai badai, garang bagai kucing betina yang baru melahirkan, dan tentu taat agama seperti pendahulunya. Cut Nyak Dien berjuang bersama laki-laki!

Sebuah kesetaraan, bukan lagi bicara kasur, sumur, dan dapur. Sungguh kasihan di saat serba modern begini masih ada saja orang yang melecehkan perempuan berjuang untuk menaikkan derajat keluarganya.

Sungguh petaka bagi laki-laki yang biasnya cuma melihat perempuan sebagai ladang untuk digauli, sebagai sutera yang dipoles cantik tanpa diseterika akan kusut, maupun sebagai cemilan malam saat menonton bola.

Perjuangan Cut Nyak Dien memang murni sebagai pengusiran penjajah di Tanah Aceh kala itu. Dalam kesendirian ‘keperempuanannya’ itu Cut Nyak Dien berhasil tampil lebih unggul sebagai pejuang, pendakwah, dan pemimpin yang disegani.

Kala Teuku Umar di rimba, dikejar Belanda karena durhaka, Cut Nyak Dien yang memimpin pasukan dengan alot, penuh trik dan tipu muslihat sehingga Belanda tertipu dalam terang.

Cut Nyak Dien pula yang mengubah strategi Perang Aceh agar tidak semena-mena di tangan laki-laki. Entah di mana kasur kala itu; karena Teuku Umar sibuk mengibuli Belanda dengan tukar senjata.

Entah di mana sumur saat itu; karena baju yang kotor di cuci begitu saja di sungai dengan air deras, air genangan hitam pekat dalam hutan, atau curahan hujan yang datang dan pergi. Entah di mana dapur pada masa itu; karena nasi ditanak menggunakan ranting dengan bara yang kecil agar asap tak tercium Belanda.

Lihat dan nikmati apa yang terjadi setelah itu. Cut Nyak Dien mengubah kasur menjadi tempat rebahan yang empuk di tengah hutan. Ia menyulap sumur dari sungai deras airnya di bukit ke rimba ‘di mana-mana’ asalkan Belanda tak tahu itu adanya di mana. Ia memastikan bahwa dapur tetap mengepul untuk pasukannya makan sehari-hari, menambah amunisi agar perang tak memancangkan bendera putih terhadap keganasan Belanda.

Urusan kasur, dapur dan sumur, adalah Cut Nyak Dien. Pasukannya yang lelah memikirkan Teuku Umar entah ke mana, sedang pasukan Belanda mengejar dari rimba ke rimba. Ia masih bisa menyiapkan ‘dapur’ yang enak untuk pasukannya makan siang dan malam.

Di tengah menunggu lauk matang, Cut Nyak Dien dalam peka memutar kepala dengan strategi jitu agar Belanda kembali ke Netherlands. Di semak yang rimbun, daun-daun dibawa angin, cucian kering di sore namun mata Cut Nyak Dien jelalatan ke timur, barat, selatan dan utara, ‘ke mana’ langkah angin dibawa agar Belanda tidak peka gerak-gerik ia dan pasukannya.

Cut Nyak Dien dalam kasur, sumur, dan dapur. Cahaya yang mengubah ‘kodrat perempuan’ menjadi tahta bergelimpangan mahkota. Belanda ciut. Amunisi mereka mungkin hampir habis namun Teuku Umar belum ditemui, sedang Cut Nyak Dien mengatur strategi dalam diri ‘perempuannya’ yang dulu dipandang sebagai dapur, kasur, dan sumur semata.

Cut Nyak Dien sejatinya ‘seorang’ diri perempuan di antara pasukan rencong di Tanah Aceh. Ribuan pasukannya telah mati; demikian juga kompeni yang digali ke lobang berairmata buaya.

Cut Nyak Dien ‘masih’ sempat membuat nasi seenak mungkin, menghamparkan alas untuk tidur malam nyenyak, dan mencuci pakaian agar rapi serta wangi di hadapan Teuku Umar; yang entah kapan akan kembali!

Belanda mungkin saja sama dengan kita – kaum laki-laki egois masa kini – yang masih berkutat dengan kodrat perempuan di dapur, kasur dan sumur. Plot twist yang dihadirkan Cut Nyak Dien bukanlah roman picisan sebuah drama seri. Akhir cerita yang diputarbalikkan sebaik mungkin karena anggapan kasur, dapur, dan sumur dilekatkan kepadanya sebagai seorang perempuan.

Inilah sebuah bahaya besar dalam bayangan remeh-temeh. Salah siapa menilai Cut Nyak Dien dalam balutan kasur, dapur dan sumur? Singa tidur jangan pernah diganggu. Ayam betina beranak saja bisa buas apalagi manusia yang memiliki akal pikiran untuk mengatur strategi sebaik mungkin.

Cut Nyak Dien sudah lama sekali berjalan seiringan dengan laki-laki. Ia petik gagahnya. Ia rampas gaharnya. Ia leburkan diri dalam strategi yang penuh halusinasi. Perang yang sejatinya memakai senjata, ia ganti menjadi sebuah peperangan yang selembut awan. Belanda kacau balau. Teuku Umar ditembak karena seorang pengkhianat. Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang di 1907.

Apakah akhir cerita sampai di sini? Di penjara dalam buta matanya, Cut Nyak Dien masih bisa mengatur strategi untuk pasukannya di rimba Aceh. Kembali lagi ke dapur, sumur, dan kasur. Belanda ‘aman’ telah membuang Cut Nyak Dien, tetapi dari kasur ia mengubah strategi perang dengan berkirim surat melalui ‘merpati pos’ ke rimba Aceh.

Lauk yang dimasak penuh rempah dari kekayaan alam, disantap rakyat Sumedang sampai mencintainya hingga kini. Nyanyian yang merdu di saat air sumur mengalir, membuatnya jadi guru abadi di tanah Jawa. Ibu Prabu atau Ibu Ratu dijuluki kepadanya.

Perkara dapur, kasur, dan sumur memanglah ‘hak paten’ perempuan namun dari sini pula masa depan menjadi cerah. Maka, jangan pernah menganggap perempuan sebagai makhluk paling lemah di dunia. Justru sebaliknya, dalam seputih kapas lembut hatinya, ia bisa gahar mencerkam musuh dalam terang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *