Sebatang eceng gondok telah layu di kali. Ia memungutnya dengan pasti, lalu menjemur hingga kering jadinya. Jalan setapak di Desa Kubu Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat, menjadi saksi lelahnya ia menganyam helai demi helai eceng gondok. Sebut namanya Cut Afni, seorang pengrajin eceng gondok di pelosok Aceh.
Perekonomian yang lelah usai tsunami membuat Cut Afni mencari jati diri dalam kesenjangan yang terjadi. Ia menggali informasi, berlatih diri, dan membawa modal tekad kuat untuk membangkitkan selera hidup di desanya, terutama kaum wanita.
Di 2016 ke 2017 adalah tahun yang berat untuk Cut Afni bangkit dari keterpurukan. Ia mulai menganyam satu persatu produk kerajinan, lalu usang karena tak ada pembeli. Ia menepis sedih dengan mencari cara agar semua baik-baik saja.
Tibalah di saat Mursalin mengambil dana segar dari bank untuk membangkitkan aroma tersebut. Suaminya merajut asa dalam kehimpitan masa depan suram. Namun, niat yang tulus mengantarkan segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Dana segar itu mereka jadikan modal awal untuk membeli hasil kerajinan tangan berupa tas, sepatu, keranjang, tempat tisu, maupun tikar dari anyaman eceng gondok. Mursalin mengubahnya menjadi mengilap dengan tetesan impra sebagai bahan plitur tentu setelah dicampur dengan tiner.
Tak lupa, ia merendam terlebih dahulu dengan bahan H2O2 agar tidak mudah berjemur. Produk jadi nan elok itulah yang kemudian dijual kembali oleh suami istri itu ke pasaran, baik melalui media sosial maupun pameran pembangunan yang sering diadakan oleh dinas terkait di Aceh.
Cut Afni sempat gelisah dengan keinginan Mursalin membantu ibu-ibu. Produk kerajinan menumpuk di sudut rumah, sedang Murslin terus membeli produk kerajinan dari ibu-ibu; karena tak saja soal iba tetapi menghargai hasil kerja keras dan semangat juang.
Sebagai misal, untuk satu tikar jadi, Mursalin membeli seharga Rp225.000 lalu dipercantik untuk dijual kembali dengan nilai Rp300.000. Tak sedikit produk yang pria itu rendam berhari-hari, ia plitur sampai mengilap indah, semua itu dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Tiba di waktu penutupan buku kas tahun 2018, suami istri itu berhasil mengumpulkan Rp18 juta dan meningkat menjadi Rp47 juta di tahun 2019.
UKM Kreatif Kubu. Sebuah usaha kecil yang memberdayakan ibu-ibu setempat, telah mendapatkan penghargaan sebagai UKM Naik Kelas dari Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Aceh Tahun 2019. Penutup tahun 2021 lalu, usaha kecil ini membukukan hasil Rp50 juta dengan persebaran lebih baik kepada ibu-ibu setempat.
Sebut Mursalin, ia belum puas sebelum anggota UKM Kreatif Kubu bisa berpenghasilan Rp1,5 juta perbulan. Semoga saja. Semangat pejuang perekonomian masyarakat kecil!
Leave a Reply