Padi Menguning Enggan Kembali Jadi Bibit – Kukayuh sepeda lebih kencang Senin itu. Aku tidak mau terlambat lagi. Cukup sudah berkali-kali kepala sekolah menceramahi di depan umum kalau keterlambatanku sebuah petaka. Katanya, orang-orang mencemoohku, mungkin juga hanya pandangannya saja yang sering duduk di warung kopi tiap pagi.
Di kejauhan telah kulihat anak-anak berbaris dengan rapi menurut kelas masing-masing. Anak-anak laki-laki mengenakan kopiah hitam dan anak-anak perempuan dengan jilbab putih bersih, yang pasti wangi di hari pertama sekolah tiap minggunya. Kerikil di jalan membuat sepedaku oleng dan sebuah klakson dari belakang lebih mengejutkan dengan kecepatan maksimal. Sosok itu tampak angkuh sekali dengan gelagatnya seperti biasa tanpa memelankan sepeda motor saat bersisian denganku. Ia juga tidak pernah sekalipun membuka helm dengan kaca hitam itu, hanya sekadar mengulur senyum kepada sepedaku yang kian ringkih.
Aku akan terlambat lagi. Pekikku dalam hati. Padahal, hanya sepuluh langkah lagi aku bisa berdiri di barisan guru yang masih bercakap-cakap. Sepedaku yang tua tak bisa bersahabat dengan baik dalam kerikil. Kukayuh lebih kuat, gesekan ban dengan kerikil terdengar merana. Aku turun dari sepeda dan menariknya perlahan. Saat itu juga, ekor mataku melihat pintu pagar sekolah telah ditutup.
Aku resmi terlambat!
Langkahku lunglai menjemput pagar besi yang berwarna cokelat. Di sana berdiri juga seorang guru pegawai yang baru memarkirkan sepeda motornya dengan anggun. Gayanya berdiri sangat santai karena nanti tidak ada teguran sama sekali. Akan mudah baginya berujar, “Bapak cukup kasih rekomendasi, saya akan segera pindah ke sekolah lain,”
Dan aku, rekomendasi apa yang bisa kudapat? “Kau itu masih guru honorer, wajarlah kau diperhatikan. Kau itu wajib belajar disiplin. Bagaimana kalau sudah jadi pegawai terlambat terus?”
Teguran itu terulang kembali. Guru yang sama terlambat denganku telah masuk ke dalam kelas. Aku masih berdiri di halaman sekolah dengan mata anak-anak dalam tawa cekikian. Aku diam. Aku mengutuk waktu yang tidak berpihak kepadaku. Aku tak perlu memuja nasib yang hampir tiap saat selalu sial.
Aku ingin berujar, memberi alasan tetapi kudiamkan saja karena tabiatnya yang kentara tidak bisa dihunus dengan kata-kata berbisa. Selagi belum lelah, mungkin nanti ada harapan, aku memilih bertahan dalam menyebarkan keikhlasan meskipun aku sudah tidak sanggup. Jika kuingat banyak teguran, bukan kali itu sebenarnya, lebih dari nasihat, mungkin merendahkan martabat, dengan kata-kata yang menurutnya elok didengar, “Kau ke sawah sajalah sambil tunggu diangkat jadi pegawai!”
Aku memang bertani. Sama juga dengan waktu yang kian mengerus rindu pada asa yang sulit kusemai. Tiap hari aku menyetel waktu agar tidak terlambat meskipun selalu ada saja alasan yang memperlihatkan keterlambatanku.
“Kau itu harus siap administrasi sekolah, bahan ajar, ikut kegiatan anak-anak. Itu semua sama dengan kau belajar dari sekarang. Kalau sekarang malas, jadi pegawai kau nggak ada guna!” kuturuti semua ucap itu. Namun padi menguning tidak bisa kutinggalkan begitu saja.
Sehabis subuh Senin itu. Dalam remang pagi yang hanya membayang jika ada sesuatu di depan mata. Aku memotong padi yang masih menyisakan titik embun. Padi yang kian rontok tak bisa berlama-lama menguning sebelum menjadi lebih tua. Kupandang petak sawah di depan yang semuanya berlomba-lomba menguning. Kesepuluh petak sawah besar itu harus kami potong dalam waktu cepat. Tidak ada uang untukku mengupah orang. Belum terbayang pula membayar mereka dengan biji padi beberapa goni.
Hidup ini makin susah, apa aku harus mengeluh demikian? Aku biarkan sawah seadanya, siput menyerang dalam sekejap, burung-burung menukik tajam begitu matahari sepenggalah, dan hama lainnya yang datang entah dari mana. Aku biarkan padi menguning seadanya, bisa makan batu anak-anak di rumah. Tidak ada kemungkinan aku menerima sesuap nasi dari sekolah selain ikhlas, lagi dan tak jemu hanya itu yang bisa kusebut dan kubanggakan. Entah suatu saat akan jadi pegawai entah hanya akan mati dalam keikhlasan saja!
“Bang, petak sawah yang di tengah itu kita potong duluan, tadi Nyak Cut lihat sudah membungkuk,” ujar istriku saat kaki ini belum melepas sepatu yang telah usang dan tidak lagi seperti warna hitam pada aslinya.
“Sabit Abang kau taruh di mana?” tanyaku dengan tergopoh. Rasanya, nasi yang hendak kumakan siang itu tidak lagi selezat yang sebenarnya nasi itu sendiri. Pikiranku telah melayang di antara batang padi yang jika kutinggal akan menjuntai ke tanah besok hari. Kalaulah demikian, bukan hanya aku saja yang lelah memotong dan pinggang sakit tak keruan, tetapi Nyak Cut juga akan mengalami hal yang sama.
“Sabit padi Abang simpan di saung tadi pagi, bukan?” istriku balik bertanya. Aku telah didera amnesia akut di siang hari, kurasa, aku telah membawa pulang sabit padi yang kuasah semalam agar tajamnya bisa menyabit batang-batang padi dalam sekejap mata.
“Mana mungkin,” ujarku dengan nada tidak percaya, “Abang bawa pulang tadi pagi,”
“Nyak Cut lihat di mana-mana nggak ada, Bang,”
“Ada Abang bawa pulang,”
“Nggak ada, Bang,”
Terkadang, masalah kecil bisa menjadi kericuhan yang panjang di hari kami. Kemarin, tudung sobek yang kuributkan. Dua hari lalu, ikan asin yang terasa pahit begitu kusantap di bawah terik matahari, di dalam saung kami yang hampir roboh dan bolong atap daun rumbianya. Besok, bisa jadi hal-hal kecil lain yang sebenarnya kubangun dari kepingan emosi di waktu sebelumnya yang tidak bisa kuungkapkan semena-mena.
Aku makan dengan cepat. Setelan kerja kupakai dengan tergesa. Setelan compang-camping itu terasa lebih segar daripada setelan rapi beberapa menit yang lalu telah kutanggalkan. Setelan kerja di sawah yang kupakai ini akan menyerap banyak keringat dan bahkan baunya begitu menyengat. Tak perlu pula mencuci seminggu sekali, bahkan Nyak Cut bisa lupa mencucinya sampai musim tanam berikutnya. Mungkin, dicuci atau tidak sama saja nanti akan kotor kembali karena kami bermain dengan tanah, debu padi, maupun hama yang bau menyengatnya menempel berkali-kali.
Sabit yang benar rupanya tergeletak begitu saja di lantai papan lapuk saung kami. Kupungut dengan satu tangan. Kuamati petak sawah yang disebut Nyak Cut. Istriku memang peka sekali hal-hal demikian. Benar itu terjadi, batangnya telah mulai sujud dengan indah sekali. Mungkin sedang berdoa panjang, mungkin juga karena tak sanggup lagi menahan isi yang dikandung. Jika tak kami potong hari ini, perlahan-lahan di petak sawah yang besar itu, besok akan menjuntai ke tanah dan akan kudengar keluhan Nyak Cut, “Sakit kali punggung Nyak Cut, Bang,” lalu diikuti dengan kalimat-kalimat pengantar tidur lainnya.
Aku tahu, aku juga sakit tak kentara. Maka, tak bisa kubiarkan punggung bicara untuk hari ini. Kusabit batang padi yang satu dua lebih besar dari genggamanku. Gerakanku cepat dan gesit. Sejak kecil, aku telah menyabit batang padi bersama Mak dan Ayah. Sejak remaja punggungku telah terbiasa mengangkat bergoni-goni biji padi dari tengah sawah ke rumah kami dalam jarak setengah kilometer lebih.
Tak kuasa kusebut punggung dan bahuku telah sakit sebelum menikah, terus kurasa sampai Adam dan Hawa lahir. Kusebut seperti orang-orang ingin sukses tetapi waktu berkata lain, “Kau pulang saja, jadi guru!” perintah Mak begitu ijazah kuterima dengan sukacita. Di masa muda yang keemasan, tidak terlintas hidupku akan begini. Kupikir, aku akan jadi guru yang sebahagia orang lain. Namun pengangkatan guru honorer yang mengabdi puluhan tahun, bekerja lebih banyak waktu daripada guru pegawai, dianak-tirikan oleh pemerintah dengan suka hati tiap ganti pemimpin.
Aku tidak lagi berharap soal itu. Kumis telah memutih. Rambut sebagian juga demikian. Adam telah masuk madrasah tsanawiyah tahun lalu, Hawa akan menyusul abangnya setahun lagi. Jikalau boleh mengukir waktu di atas kanvas yang terlena dengan keindahannya, sudah lebih 16 tahun aku mengabdi sebagai guru honorer di sekolah dan menjadi petani yang sama dengan orang lain di kampungku.
Tak ada yang berubah. Tak tahu kapan aku berbenah menjadi lebih sempurna di mata orang lain yang menganggapku sarjana gagal. Kupanen padi dua kali dalam setahun. Hasil panen dibagi dua bagian. Satu bagian kami jual setelah menunaikan zakat. Satu bagian dibagi dua lagi. Satu bagian yang telah dibagi itu dikasih ke pemilik tanah sebagai biaya sewa tiap panen dan satu bagian untuk kami makan sebelum panen berikutnya.
Sesekali dalam renungan malam panjang aku menghitung, hanya secuil dari hasil panen menjadi simpanan di gubuk belakang rumah. Tiap bulan akan keluarkan satu persatu goni untuk digiling menjadi beras, dan bahkan saat uang tak ada, aku dengan berat hati menariknya keluar lagi satu goni bahkan lebih untuk dijual. Kadangkala, jajan Adam dan Hawa membuat hidup kami kian berutang ke mana-mana. Catatan di tengkulak yang gemar merayu petani tak bisa kuelak. Aku ambil berlembar-lembar rupiah berwarna biru, nanti akan diganti dengan padi usai memanen.
“Bang, di sana mendung sekali,” ujar Nyak Cut yang menganggu konsentrasiku. “Kita harus angkat yang sudah kering di petak sebelah sana,” lanjutnya. Aku membenarkan dalam hati. Mendung berarak tajam dalam hitungan menit. Dari selatan ke udara, di bawa angin laut yang begitu kencang sekali, mungkin.
Di bawah awan mendung, Adam dan Hawa berlari ke arah kami. Nyak Cut mengerahkan pasukan lengkap untuk mempercepat kerja kami. Wajah memerah Adam yang baru pulang sekolah tidak bisa disembunyikan. Raut keberatan darinya tidak bisa lagi mengibuli waktu. Aku tak kuasa berkata apa-apa karena Nyak Cut akan berujar, “Tak ada waktu main-main, cepat angkat yang itu!”
Kami berempat mengumpulkan tangkai-tangkai padi yang telah disabit sehari sebelumnya. Tampak kering sekali dan matang dengan sempurna. Tangkai padi segenggaman itu begitu berat. Kami kumpulkan beberapa tangkai ke dalam goni, sampai penuh lalu dibawa ke saung. Tugasku untuk mengangkat bergoni-goni itu. Terik matahari tak bersahabat meskipun awan hitam kian mendekat.
Kami tak bisa mengulur waktu. Sama dengan orang lain di sekitar, semua memungut tangkai padi, dikumpulkan ke dalam goni, diangkat ke saung, disusun dengan rapi dan nanti akan ditutup dengan terpal plastik. Rintik hujan mulai memanjakan diri. Adam berlari ke tangkai-tangkai padi yang jaraknya beberapa meter. Hawa juga jungkir-balik menyusun tangkai padi ke dalam goni agar lebih rapi dalam terburunya. Nyak Cut ikut membantu Hawa dengan tergesa-gesa, beberapa tangkai lepas dan berserak. Langkahku lebih cepat dengan goni penuh di atas kepala. Seperempat petak sawah lagi tersisa. Mendung terus berkelabut dengan indahnya membentuk formasi teraman sebelum memulai perang.
Semua berlomba. Waktu tak memberi jeda. Deru hujan terdengar dari selatan. Arah angin laut yang tiba-tiba bergemuruh dengan kencang. Tak sampai lima menit, kami telah basah kuyup dan tangkai-tangkai padi lepas dari genggaman. Tak ada jeda. Tak ada permisi. Tak bisa diajak bicara, atau diskusi sejenak untuk lewat ke tempat lain.
Kami berempat berdiri lemas di tengah sawah. Orang-orang lain juga demikian. Ada yang lari ke saung. Ada yang berjalan. Ada yang masih memungut tangkai padi yang entah untuk apalagi karena telah disiram hujan. Esok akan kering kembali meski kualitasnya bisa menurun. Hujan memutih bagai salju. Aku menyuruh Adam dan Hawa berteduh ke saung. Nyak Cut terlihat mengumpulkan anak-anak padi yang tadi lepas dari tangkai, mengikatnya kembali.
“Nanti saja kita urus itu lagi,” teriakku. Nyak Cut tidak mendengar. Suara hujan lebih kencang dari teriakanku. Aku mendekat, menarik lengan Nyak Cut dan ditepisnya.
“Ini akan hilang dalam air nanti malam,” ia mengayung batang padi yang lepas dari tangkai dan berserak di petak sawah yang mulai berair. Aku mengikuti langkahnya, memungut batang-batang padi yang berserak itu. Kami ikat lagi bertangkai-tangkai. Tampaknya, hujan lebat itu belum akan menepi ke sebelah barat atau timur sampai senja nanti.
Aku ke saung dengan ayunan kaki berat sekali. Di sana, Adam dan Hawa duduk di atas tangkai-tangkai padi yang telah disusun membentuk persegi empat seukuran saung kami, tiga kali empat meter. Nyak Cut menyusul. Tak ada yang bicara. Kami menikmati hujan lebat yang akan membanjiri petak-petak sawah yang telah kering. Entah di rumah juga akan masuk air hujan ke dapur melalui atap daun rumbia yang bolong di sana-sini.
Mungkin, hasil panen kali ini tidak sesuai harapan jika hujan masih melebat sampai beberapa hari ke depan. Curah hujan yang tiba-tiba tak bisa dipindahkan oleh pawangnya membuat sedihku sangat cepat menembus ulu hati. Batang padi yang gemuk akan berbau jika terus-menerus kena hujan dan tidak segera dijemur usai dipanen. Nilai jual gabah juga akan rendah. Padi yang demikian, bila digiling menjadi beras masih meninggalkan bau yang tidak enak dicium, apalagi untuk dimakan.
“Kita pulang,” ujarku kepada anak dan istri.
“Hujan masih lebat, Ayah,” kata Adam.
“Kita juga sudah basah. Pulanglah duluan. Ayah tutup padi ini dengan terpal itu, nanti menyusul kalian,” kedua anakku tidak banyak bicara dengan gigi mereka yang menggerutuk. Bibir mereka telah membiru menahan dingin. Hujan tak bisa ditunggu kapan mereda. Basah badan pun tak akan mengering. Tangkai-tangkai padi tak bisa pula diangkat kembali.
Aku menutup gundukan tangkai-tangkai padi itu dengan rapi dan memastikan tidak ada celah air masuk ke dalamnya. Bayang kedua anakku terlihat bagai titik-titik di dalam putihnya hujan. Nyak Cut menyusul di belakang mereka.
Padi yang telah basah. Padi yang menguning sempurna. Enggan menjadi bibit yang lebih unggul karena terkena hujan. Di musim tanam beberapa bulan lagi, mungkin aku harus membeli bibit padi baru.
Kuhela napas panjang. Hamparan padi menguning telah dingin dipeluk hujan. Besok pagi, cuma Nyak Cut yang akan memotongnya sendiri. Sekolah masih menantiku dengan cekikian anak-anak. Aku masih seperti dulu, aku masih berharap menjadi bahagia. Jika tidak bisa untukku, setidaknya untuk Adam dan Hawa!
***
Leave a Reply