Saya selalu ingin memulai sebuah cerita Ramadhan penuh hikmah. Cerita apa yang ‘mungkin’ bisa saya bagikan tetapi penuh berkah di dalamnya. Sebuah cerita akan selalu membawa pengaruh besar terhadap cita-cita dan masa depan; tidak saja cukup mencari rezeki untuk menu berbuka puasa, sahur bahkan baju lebaran saja.
Diam termenung, mencari ide segar yang mungkin segera datang. Saya mungkin tidak bisa berbuat apa-apa. Saya juga tidak bisa merenung saja. Saya harus mendapatkan kisah yang menarik untuk cerita Ramadhan ini.
Benar. Jauh melangkah dalam catatan pikiran panjang. Telah menyelusuri bayangan entah ke mana-mana, saya lupa orang terdekat. Mungkin saya terlalu melankolis memikirkan UMKM ‘milik’ orang lain yang telah sukses dengan melupakan nenek saya sendiri.
Meski, cuma di rumah saja, tidak mempromosikan ke mana-mana, usaha nenek saya telah berhasil mengantarkannya ke tanah suci. Semua itu dimulai dari cerita Ramadhan penuh berkah. Bangun sahur langsung bekerja, sepanjang hari cuma tidur sejenak, dan pulang tarawih juga mengerjakan orderan yang tak pernah putus.
Maukah Kau Mendengar Ceritanya?
Pergi haji tak lain sebuah rindu yang menggebu-gebu bagi kami, orang Islam, juga dari keindahan alam Aceh yang tak pernah pudar meski tsunami pernah mencicipi manisnya.
Makkah dan Madinah adalah dua kota yang tak hanya tua tetapi penuh peradaban, bau perang serta syiar dan syair Islam yang bernapas dengan merdu. Sampai kini, rindu itu tak pernah menepi meskipun biaya perjalanan haji begitu besar.
Ajaran Adam dan Hawa melekat dalam, di bawah bayang-bayang keanggunan dan juga kemahsyuran suatu masa. Sa’i menjadi sebuah hal yang sering diceritakan oleh kerabat yang pulang dari berhaji.
Lempar jumrah juga bagian terpenting dari kisah-kisah itu yang mana mengandung makna lelah, berlomba-lomba dan juga mendekatkan diri kepada-Nya.
Nenek saya, Sapiah, juga menceritakan hal serupa dalam ingat tak ingat. Semua kenangan terpotong-potong begitu saja. Namun, kami mendengar ceritanya dengan penuh harap karena semua itu berakhir bahagia.
Sebuah perjalanan panjang dari seorang nenek yang tinggal di kampung permai, dikelilingi sawah, sering banjir dan kehidupan kemasyarakatan masih sangat kental. Juga, perjalanan seorang nenek yang tak tahu-menahu dunia luar yang membuat kami khawatir dalam waktu lama selama beliau di sana.
Tentu, bukan cuma perjalanan haji yang menggetarkan kami tentang Sapiah. Jauh sebelum itu, dalam tertatih, kebas tangan dan punggung sering keram, Sapiah membuat banyak tudung saji seorang diri. Bahkah, dalam Ramadhan usahanya tak pernah henti.
Tiap hari, Sapiah membuat tudung saji dari ukuran kecil, sedang dan besar, tergantung pesanan dengan harga mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 50.000. Tudung saji ini dalam bahasa Aceh disebut ‘sange’ yang dibuat dari daun pandan hutan – orang Aceh menyebut daun layah. Untuk menghiasinya agar lebih cantik digunakan kain beludru warna merah atau kuning. Kain beludru ini disulam pita emas dalam bentuk bunga-bunga, pintu Aceh atau jenis hiasan lainnya.
Sapiah hanya membuat tudung saji saja. Dalam sehari, Sapiah bisa membuat 3 sampai 5 dalam ragam ukuran. Jika banyak pesanan, sampai malam masih bergelut dengan daun-daun kering tersebut. Namun, satu hal yang pasti, setelah salat Isya, Sapiah akan segera tidur dan melanjutkan pekerjaannya usai Subuh.
Saya tahu dirinya seperti adanya. Sapiah mengumpulkan tiap rupiah untuk ditabung. Kakek berpesan semasa hidupnya untuk menyetor haji sesegera mungkin. Maka, Sapiah melakukan itu sekitar 10 tahun yang lalu.
Nenek saya itu, usai menyetor tabungan haji seakan-akan tak pernah tidur untuk melunasi sisa tabungan. Meski nomor kursi telah didapat dan tahun berapa sudah pasti, dirinya tetap membuat tudung saji. Bahkan, Sapiah rela makan dengan kangkung rebus dan telur asin.
Bagi saya yang hampir tiap hari melihat aktivitasnya, kerja keras di usia senja, tidak akan pernah mustahil doanya di-ijabah oleh-Nya. Tahun 2017 memang belum jatah Sapiah untuk berangkat haji, namun ‘undangan’ Allah itu tak pernah memandang siapa dan mengapa.
Sapiah diberangkatkan tahun itu karena penambahan kuota dari pemerintah. Persiapan dalam sekejap, melakukan ritual semestinya calon jamaah haji sampai akhirnya selamat sampai tujuan.
Penggalan kisah Sapiah. Apa yang dilakukannya selama ‘berambisi’ ke Tanah Suci, seolah-olah mencambuk jati diri kami sebagai anak muda. Sapiah dalam usia yang renta, sering sakit, bahkan tak pernah mengeluh saat pesanan tudung saji datang bertubi-tubi.
Saya berpikir, inilah jalan yang diberikan Allah kepada undangan terpilih. Ada saja cara agar orang-orang datang ke rumah untuk memesan tudung saji. Sapiah tidak lagi risau soal sisa dana yang harus ditunaikan.
Pergi haji haruslah bercita-cita. Tiap muslim memang demikian meskipun tidak selamanya tercapai. Cita-cita ke haji akan dibarengi dengan ambisi, kerja tanpa lelah dan beribadah dengan lebih rajin. Gantung cita-cita dengan usaha selama Ramadhan niscaya akan berkah untuk sampai ke sana.
Tidak mungkin kita hanya berangan-angan pergi haji tetapi tidak pernah berusaha lebih keras mendapatkan lebih banyak uang lalu membuka buku tabungan haji.
Sapiah yang saya lihat, tahu bagaimana cara merealisasikan cita-cita tersebut. Sapiah saja mampu menyiapkan diri untuk pergi haji meskipun usianya tidak lagi bersahabat dengan rasa kuat.
Pergi Haji Karena Tanpa Alasan Soal Cinta dan Cita
Tidak ada alasan apapun jika bicara cinta. Cinta ya cinta saja. Termasuk pergi haji. Cinta kita teramat lebih untuk menunaikan rukun Islam kelima ini. Mampu uang belum tentu terpanggil atau mendapat undangan. Bahkan, Sapiah yang tidak memiliki uang berlebih termasuk orang yang mampu berhaji. Orang kaya belum tentu mau. Orang yang punya cita saja yang benar-benar mendapatkan tempat ini.
Sapiah mengajarkan saya banyak hal tentang persiapan sejak dini. Waktu pendamping haji mengabarkan Sapiah sempat sakit beberapa hari di sana, kami begitu khawatir akan kondisinya. Meski demikian, Allah selalu berkehendak sesuai kemampuan manusia. Sapiah pulih dan berhasil menyelesaikan rukun haji. Di depan kami yang masih muda, Sapiah berujar, “Selagi muda, pergilah haji!”
Makna yang kuat. Tak terbantah sama sekali karena nenek saya itu telah merasakan sendiri. Aceh tentu sangat berbeda dengan Arab Saudi. Cuaca yang berbeda aroma mudah sekali mengikis gagah menjadi lemah. Orang yang sehat sekalipun bisa menjadi sangat lemah sampai di sana.
Selagi muda. Kalimat yang tepat untuk menjabarkan alasan bahwa mempersiapkan dana haji harus dari sedini mungkin. Bukan pula dari lahir langsung didaftar haji.
Namun, jika telah mampu secara batin dan sanggup melunasi biaya perjalanan haji maka waktunya untuk membuka tabungan haji. Sapiah tak pernah henti berujar kepada orang muda yang menjenguknya pulang haji, “Pergilah selagi sehat!”
Uang tak pernah berbicara. Uang bisa habis jutaan dalam semenit. Namun langkah untuk membuka buku tabungan haji selalu beribu alasan. Demikian contoh yang Sapiah berikan kepada kami bahkan di bulan Ramadhan tanpa henti bekerja.
Kegigihan Sapiah yang mengumpulkan lembar demi lembar rupiah sampai akhirnya menyandang gelar hajjah membuat saya berujar dalam hati, “Saya juga bisa!”
Usaha Sapiah tak tentu menghasilkan uang bulanan. Sedangkan kami yang masih bugar bisa mendapatkan banyak sekali uang; yang kadangkala habis untuk beli paket internet. Mempersiapkan haji sejak dini bukan sekadar menyetor uang ke bank, melainkan memberi ruang kepada prosesi ibadah kita. Saat ini kita mampu melunasi biaya tabungan haji, besok belum tentu.
Sehat tak pernah bisa diganti. Sapiah tak henti berpesan, “Pergilah selagi sehat badan!” Saya pahami dengan baik bahwa uang bukan segalanya. Sehat badan kunci utama pergi haji. Gerak tubuh di usia muda masih bebas dalam menjalankan ibadah. Badan sehat saat muda masih mampu menangkis cuaca yang berbeda. Dan sekali lagi, uang hanyalah pelengkap yang mana besar kecil akan habis seketika.
Cerita Ramadhan yang Tak Usai
Cerita Ramadhan ini hanya segelintir kisah yang datang membawa peluang besar, berkembang dengan sendirinya, tidak pernah mengeluh dengan kerasnya kerja, dan sampai juga ke tempat yang membuat hati jatuh kepadanya selama bulan Ramadhan, yaitu Makkah.
UMKM Nenek tidaklah sebesar harapan orang-orang. Namun usahanya dalam membesarkan tudung saji sudah terkenal se-kecamatan. Saya berpikir, memang tidak perlu muluk-muluk. Cukup sampai di sini dengan usianya yang renta dan kini sakit. Perlahan tetapi pasti berkah Ramadhan tetap mengantarkan kebahagiaan untuknya.
Dalam sulit gerak tubuhnya kini, Nenek tetap meraih berkah selama Ramadhan. Jika harus berhenti sebenarnya sudahlah tiba. Tetapi jemarinya tidak bisa diam. Potongan bahan baku tudung saji berserak di mana-mana. Padahal, sudahlah cukup dirinya menabung untuk ke tanah suci. Sudahlah tidak usah mencari nafkah. Sudahlah berhenti saja untuk menikmati masa tuanya.
Tetapi tidak. Dalam Ramadhan yang berlimpah rezeki, Nenek tetap mengais sedikit demi sedikit. Katanya, “Buat tambah-tambah sore nanti,” dan juga sesekali menyelutuk, “Buat beli baju lebaran sebentar lagi,” – untuk cucu yang masih kecil.
Demikian cerita Ramadhan penuh berkah ini. Dari sebuah hal kecil, usaha kecil pula, bisa sampai ke tanah suci dengan suatu keyakinan pasti. Dari Ramadhan semua akan menjadi mungkin berkat usaha, doa dan bersyukur sepanjang waktu!
Leave a Reply