Bandara Bali Dekat Laut

Bandara Bali Dekat Laut Menakutkan dengan Kursi Kuning di Ruang Tunggu

Bandara Bali Dekat Laut Menakutkan dengan Kursi Kuning di Ruang Tunggu – Buru-buru, saya dan Sandi ke Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, di pagi 11 September 2016. Udara pagi yang sejuk, perut yang telah terisi dengan menu sarapan spesial di Bliss Surfer Hotel, siap saja menerima penerbangan bersama Garuda Indonesia, menuju Jakarta lalu ke Banda Aceh.

Bandara Bali Dekat Laut

Saya dan Sandi berpisah di pintu keberangkatan. Saya yang memiliki jadwal penerbangan pukul 09.00 waktu Bali, harus segera melakukan check in. Sandi harus sabar menunggu di siang hari dan katanya berimbas delay selama 2 jam. Saya baru mendarat di Aceh, Sandi juga baru saja mendarat di Surabaya sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang keesokan harinya.

Saya langsung saja mengantri di konter check in Garuda Indonesia yang telah berstatus open. Tentu saja setelah mengalami pemeriksaan awal di pintu masuk. Antrian yang memakan waktu sepuluh menit itu saya gunakan untuk menengok kiri kanan. Luasnya Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai ini semakin terasa.

Saya mulai harap-harap cemas seperti jetlag, ada-ada saja memang namun itu menjadi keharusan dalam diri saya sebelum memulai penerbangan. Tiba saat menyerahkan print out tiket dan kartu identitas kepada petugas yang ganteng itu, saya semakin didera cemas. Meledak-ledak sampai lupa tengah berada di keramaian dan kesibukan masing-masing orang mengejar waktu agar tidak ketinggalan pesawat.

Boarding pass saya pegang dengan semangat. Mual yang mendera seakan-akan memuncak sampai ke batas tertentu. Pikiran yang kalut kian berkonsentrasi penuh karena saya harus menuju pintu ruang tunggu yang tertera, Gate 1C. Di mana dan bagaimana saya harus sampai ke sana, saya mesti menapakkan kaki di lantai licin bersama calon penumpang lain yang semua terburu-buru.

I Gusti Ngurah Rai di Bali ini memang termasuk bandar udara internasional, tidak hanya sebutan saja namun juga kesibukan yang saya rasakan. Orang-orang yang menuju satu arah, sama dengan saya, hanya mencari pintu ruang tunggu untuk merasa aman. Saya mulai melangkah.

Kembali bermain dengan pemeriksaan barang dan orang. Tali pinggang dilepas. Smartphone dimasukkan ke dalam keranjang untuk melewati mesin X-Ray yang gagah dan angkuh. Ransel juga ikut-ikutan terdorong masuk. Saya juga harus membentang tangan melewati ‘pemeriksaan’ ketat ini.

Bandar udara kelas internasional ini membuat mata terpana. Ciri khas Bali masih sangat terasa sampai-sampai saya lupa rasa mual yang mendera. Saya arahkan kamera smartphone ke segala sisi. Setiap sudut yang terasa manis ini tidak mungkin saya lewatkan begitu saja.

Gambar-gambar di baliho besar memperlihatkan Pesona Indonesia yang melankolis dan manis. Patung-patung berdiri genit dengan peran sebagai penari Bali profesional. Lampu temaram menjadi suasana romantis di sepanjang lorong menuju ruang tunggu keberangkatan.

Toko-toko souvenir yang berjajar seperti saya berada di dalam gedung pusat perbelanjaan. Aneka barang dijual; makanan dan pernak-pernik khas Bali yang enggan saya tanya.
Firasat tidak baik mendera isi kantong jika berbelanja di bandara. Arena bermain anak-anak terlihat begitu menggoda dengan kursi, boneka dan mobil-mobilan. Saya terus melangkah cepat.

 

 

Herannya, saya kok tidak menemukan pintu keberangkatan sesuai dengan gate yang tertulis di boarding pass. Pegalnya terasa seperti mengitari Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Rasanya nggak sampai-sampai ke tempat duduk yang membuat badan saya lebih manis dalam kusut.

“Itu dia!” seru saya saat melihat papan nama berwarna kuning dengan tulisan putih di dalam kotak merah persegi empat. Arah panah naik ke atas. Saya harus melaju ke situ. Lorong yang remang, toko souvenir yang sepi pengunjung membuat saya benar-benar terasa sendiri. Nikmat di satu sisi namun kesepian di sisi lain.

Orang yang lewat tidak memedulikan saya. Ada yang mendorong koper ukuran 15 kilogram. Ada yang santai dengan tas kecil. Ada pula yang kesusahan dengan ransel besar. Anak-anak berlarian menuju gate yang telah terlihat nyata di depan mata.

Departure Gate 1C!” seru saya dalam hati, pura-pura pintar berbahasa Inggris. Di sini saya akan menunggu penerbangan dengan sabar. Deretan kursi terlihat rapi. Saya melangkah persis ke depan tulisan Pintu Keberangkatan 1C. Kiri adalah kamar kecil dan di dekatnya terdapat komputer untuk akses internet.

Belakangan, saya coba akses namun koneksi bermain cantik sampai saya lelah menanti loading dan baru terbuka lima menit kemudian. Saya bergaya buka blog dan melihat tampilannya di desktop itu. Cantiklah untuk ukuran blog dari blogger newbie traveler.

Kanan dari saya berdiri adalah pintu keluar menuju pintu pesawat. Dan di depannya, kursi kuning itu berhadap-hadapan dengan manja. Ah, seandainya sedang jalan berdua, duduk di atasnya dengan secangkir teh di pagi hari tentu terasa lebih syahdu. Khayal yang membahana ke langit Bali dan nyangkut di antara atap bandara karena tak rela lepas landas menjumpai rindu kepadanya.

Kursi kuning ini tergolong unik dan menarik. Kursi ini seperti berada di dalam sebuah rumah kecil dengan atap segitiga. Atapnya yang seperti piramida terlihat seperti kayu alami. Lampu putih yang hidup dari dalam kotak kayu persegi panjang menambah aroma romantis dan kehangatan.

Meja kayu mengilap sangat cocok untuk menopang lengan lelah. Di bawah kursi yang empuk terdapat colokan listrik untuk siapa saja yang butuh pengisian daya alat elektronik.

Saya mengintip ke arena ‘permainan’ pesawat terbang. Tampak kokoh gapura dengan patung penjaga kiri dan kanan. Sayangnya, kami tidak turun melalui pintu bawah namun langsung menuju ke dalam corong ke pintu pesawat. Petugas bandara telah bersiap untuk membuka pintu keberangkatan.

Suara panggilan terdengar indah sekali. Saatnya pulang, kapan-kapan mungkin saja akan kembali, bisa saja di waktu honeymoon nanti. Bandara Bali Dekat Laut sampai jumpa lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *