bali surga bule ganteng

Bali Surga Bule Ganteng, Kenalan Saja Mungkin Mau Diajak Kawin

Bali Surga Bule Ganteng, Kenalan Saja Mungkin Mau Diajak Kawin – Secangkir kopi tidak cukup untuk menikmati aroma di Pura Ulun Danu Bratan. Di sana banyak sekali pria berambut pirang dan bermata biru, sendirian dan juga bersama kekasihnya.

Bali Surga Bule Ganteng

Panas matahari begitu menyengat siang itu; sampai wajahku memerah yang disebut oleh Pandu kayak kacang rebus. Meski di Aceh juga tak kalah panasnya, panas hari itu tidak bisa menafikan apa yang telah terjadi di kulitku yang begitu sensitif. Meski begitu, panas yang semula membuat hampir sebagian isi kepalaku muncrat, berubah menjadi lebih sejuk saat masuk ke tempat wisata di Bali yang indah ini.

Surganya dunia, begitu julukan untuk Bali. Aku pernah bermimpi ingin ke Bali; demikian juga dengan orang lain. Dulu, sempat kupikir bahwa ke Bali itu cuma traveling biasa, lalu pulang. Panorama yang selalu dipromosikan. Kemewahan dan gemerlap malam yang tiada henti berdetak.

Seolah-olah hanya tabu untukku yang belum pernah ke sana. Namun, begitu pesawat udara landing sempurna di Bandara I Gusti Ngurah Rai, kesibukan yang nyata membuatku terpana. Inilah Bali. Inilah keindahan yang sebenarnya didengungkan banyak orang.

Bali tak bisa lepas dari seni.

Dan, aku telah di sana, dalam paruh lalu yang tidak akan pernah kulupa sama sekali. Aku tidak hanya menikmati secuil saja tetapi hampir segala keindahan dari Pulau Dewasa. Aku terhenyak, terhipnotis, tersudut dalam bayang yang sungguh berbeda dengan negeriku di ujung Sumatera.

Di mana-mana adalah bule. Mereka tampan-tampan. Mereka tinggi menjulang. Hidung mancung. Gagah tak terkira. Senyum bersahabat dibuang percuma. Ramah dalam bahasa mereka sendiri yang membuatku tersendak.

Aku bahkan ingin berlari tetapi langkahku tetap sesuai rencana bersama Pandu dan Sandi. Tak mungkin membatalkan penginapan dan juga sewa kendaraan. Tergopoh di pagi, sopir mobil yang kami sewa telah menjemput. Segala tentang Bali adalah indah. Semua tentang Bali adalah bule. Dan, mereka tampan dalam surganya di sini!

Nusa Dua dalam Balutan Keangkuhan dan Kemewahan

Angin pagi berhembus begitu saja. Nusa Dua ibaratnya pemukiman penduduk kelas atas namun di sini lebih banyak penginapan mahal dan mewah. Perpaduan antara ciri khas Bali dengan gaya modern menyulap Nusa Dua menjadi tempat termewah untuk mereka yang berkantong tebal.

Keliling Nusa Dua bisa menikmati sisi kelembutan, gahar dan adem dengan pohon-pohon rindang. Tak pernah pula kita melihat sampah bertumpuk. Jalanan penuh daun-daun luruh. Semua bersimfoni dalam nada-nada terindah untuk menjamu tamu dari beragam bangsa.

Bali Surga Bule Ganteng
Gaya bangunan di Nusa Dua, Bali.

Nusa Dua barangkali pilihan yang tepat – sekali lagi – untuk mereka dengan budget lebih. Namun, untuk kita yang ingin menikmati kemewahan di sana tak ada salahnya untuk menarik diri dalam balutan ‘gaya hidup’ orang kaya tersebut. Kita bebas menarikan diri di jalanan yang sepi, teduh dengan pohon dan segala bangunan dengan arsitektur menawan.

Di tiap bangunan besar itu, adalah patung-patung khas Bali yang sedang berbicara tentang sejarah. Paninsula Island misalnya, membawa kita akan kenangan pada sosok Arjuna dan Krisna dalam bentuk monumen di pinggir pantai dengan lautan biru. Tenang dan aman.

Jauh sekali dari suara bising di sini. Paninsula Island sangat cocok untuk kamu yang ingin jogging, menikmati pantai dalam ketenangan maupun bersantai di lapangan luas dengan pemandangan laut lepas.

Bali Surga Bule Ganteng
Paninsula Island di Nusa Dua.

Nusa Dua; penuh keindahan dan juga privasi. Aku tentu tidak bisa masuk ke area pantai yang dipagari ‘rahasia’. Selain harganya mungkin mahal juga bukan sesuatu yang bisa membuatku terlena. Kamu mungkin paham maksudku.

Aku ingin menikmati Bali dengan keindahan yang tidak ternoda dalam konteks kehidupan pribadiku sebagai muslim. Namun, kamu perlu ketahui bahwa di Nusa Dua, pantai area privat itu bisa dikunjungi dengan syarat dan ketentuan.

Bali Surga Bule Ganteng
Patung mudah sekali ditemui di Bali.
Nusa Dua menjadi tempat yang dinanti banyak orang dengan kemegahan namanya. Gemerlap malam di sini akan berbeda dengan di sudut Kota Denpasar lainnya. Kita merasa kemewahan, kita merasa keindahan dalam definisi masing-masing.

Tanah Lot dalam Romansa Cinta yang Abadi

Will you marry me? Sesuatu yang tidak terduga bisa terjadi begitu saja di Tanah Lot. Bule-bule tampan ada di mana-mana, itu sudah pasti. Aku masih sibuk sendiri ketika Pandu menarik lenganku. Katanya, “Cepat foto, itu abang bule lagi lamar kekasihnya!”

Aku yang gagap, buru-buru mengeluarkan smartphone yang hampir terjatuh ke rumput. Matahari terbenam dengan indahnya di belakang dua sejoli yang sedang dielu-elukan oleh banyak orang. Orang-orang berseru, “Say yes, say yes, say yes!

Aku kaku di tempat berdiri. Hasil foto bule tampan yang sedang melamar kekasihnya tidak begitu kupedulikan. Aku menikmati suasana ini. Terharu dalam kata. Terbius dalam keberanian si pria.

Aku pun tersudut karena tidak mungkin hal serupa dilakukan di Aceh. Prosesi yang seharusnya penuh adat dilakukan dengan santai dan berani di depan orang-orang yang tidak dikenalnya. Itu hanya di Bali, buatku, mungkin hanya kulihat di Bali saja.

Bule tampan melamar kekasihnya di Bali
Bule tampan melamar kekasihnya di Bali.

Lamaran bule tampan itu terjadi begitu saja. Cepat. Gesit. Cincin telah terlarung di jari manis kekasihnya. Orang-orang yang semula mendekat, memberi dukungan dan semangat, kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Matahari beranjak ke peraduan dengan indahnya, sebagai saksi romansa cinta abadi di sini.

Sunset di Tanah Lot sungguh berbeda. Ia mengangga. Ia merajuk untuk dilihat eloknya. Ia ‘tidur’ dalam keromantisan tersendiri. Pura Karang Bolong yang menjadi ikon Bali ada di sini. Sayangnya, hari itu laut lagi pasang sehingga kami tidak bisa naik ke sana. Kamu bisa menikmati sunset di Tanah Lot sekitar pukul 18.15 waktu Bali.

Sambil menanti matahari terbenam, kita harus mencari tempat yang strategi. Cari tempat ini memiliki falsafah, siapa cepat ia dapat. Maka, kami duduk di tempat yang posisinya menghadap ke  matahari terbenam, di atas lekukan tebing landai, 30 menit sebelum detik-detik sunset tiba. Karena ini pula, barangkali, kami bisa melihat bule tampan itu melamar pujaan hatinya.

Bali Surga Bule Ganteng
Sunset di Tanah Lot Bali.
Aku tidak akan pernah lupa dengan tiap kenangan di Tanah Lot. Tiap detik adalah momen yang mengharukan. Deru ombak di bawah tebing benar-benar mengantarkan irama yang tak pernah terbantahkan sama sekali. Matahari terbenam dengan segala ucapan tersirat dari dirinya, membubuhkan rasa rindu untuk kembali!

PantaiKuta dengan Kerlip Lampu Pesawat

Pesawat take off dan landing menjadi pemandangan indah di pantai terkenal ini. Di magrib, lampu-lampu pesawat menjadi kerlap-kerlip yang menambah pemandangan langit. Aku merasakan sendiri bagaimana kesibukan bandar udara di Bali ini. Pesawat datang dan pergi dalam beberapa menit saja.

Pantai Kuta juga menyimpan bule dalam kemasan tersendiri. Mulai dari jalan masuk ke bibir pantai, sampai menanti matahari terbenam sekalipun kamu akan berpas-pasan dengan bule. Tak bisa kupungkiri lagi, aroma yang tak biasa begitu menyengat di sepanjang jalan dari kafe-kafe yang ramai pengunjung. Tentu, kafe-kafe ini menjual minuman beralkohol untuk tamu-tamu bule tampan mereka.

Di beberapa menit sebelum matahari terbenam, bule-bule masih bermandikan panas. Mereka berjemur sambil membaca buku. Mereka berselancar dengan lincahnya. Di bawah bayang matahari yang sedang menukik tajam, tubuh bule yang menjulang dengan papan seluncurnya menjadi pemanis foto kami.

Bali Surga Bule Ganteng
Bule dan papan selancarnya di Pantai Kuta.

Ramai sudah pasti. Ricuh benar sekali. Berbeda dengan Tanah Lot yang lebih adem dan romantis, Pantai Kuta lebih ganas dan bertenaga. Ombak-ombak besar mudah sekali menjumpai kaki yang dekat dengannya.

Aku melihat semua orang menikmati perubahan itu. Persentase orang berkulit sawo matang dengan bule hampir 30% banding 70%. Aku bahkan berujar dalam hati, “Jika ingin lihat bule, di sinilah tempatnya!”

Beginilah panorama bule di Pantai Kuta.

Matahari terbenam. Suara tepuk tangan di mana-mana. Mungkin mereka senang sehari telah dilewati. Mungkin juga gembira bisa melihat indahnya sunset di sini. Tak lama, beberapa orang menghidupkan lampion.

Aku juga menikmati hal itu dan mengarahkan pandangan ke mana lampion diterbangkan angin malam. Malam yang beranjak tak membuat bule-bule itu meninggalkan Pantai Kuta. Namun, kami harus beranjak untuk istirahat sejenak sebelum esok memulai sebuah petualangan lebih seru.

Pura Ulun Danu Bratan Ikon Rp 50.000

Kusebut di awal, Pura Ulun Danu Bratan menyimpan ragam rasa. Udara Bedugul waktu itu memang sangat bersahabat untuk kami. Jalan berliku dan menanjak untuk sampai ke sana menjadi kenikmatan tersendiri. Kami menjumpai kebun stroberi dan penjualnya di pinggir jalan. Wajib untuk membeli buah segar ini untuk melegakan perut.
Ikon Rp 50.000 yang megah di balik bunga indah ini.

Pura Ulun Danu Bratan tak sekadar tempat wisata di Bali yang indah saja. Aku suka kebersihannya. Aku kemudian paham sejarah Danau Bratan. Juga, rasa sejuk yang tak bisa ditepis meski hawa sangat panas.

Pura-pura berdiri dengan kokohnya dalam balutan khas Bali yang sempurna. Di sini tidak ada gaya modern sehingga kita benar-benar dimanjakan dengan aroma Bali dalam rasa sebenarnya.

Pura Ulun Danu Bratan yang bersih.

Lagi, di sana bule, di sini bule. Aku sampai terkejut ketika bule tampan itu menghampiri dan bercakap dalam bahasa Indonesia. Senyumnya yang menawan tidak berani kutolak. Ia bertanya, “Bisakah kamu memfoto saya dan Ibu saya?”

Aku mengambil smartphone miliknya dan membidik ke arahnya berdiri bersama ibunya. Senyumnya masih merekah seperti sediakala. Ucapan terima kasih berulur begitu saja. Aku yang kaku disapa bule tampan terlupa untuk bertanya banyak hal.

Dia hanya berujar, Ibunya orang Indonesia. Mungkin karena ini dirinya bisa berbahasa Indonesia. Entah kenapa ia menyapa dalam bahasa kita, mungkin karena banyak pertimbangan atau memang karena dirinya cinta Indonesia.

Perbedaan yang nyata sekali bukan?
Kembali ke ikon uang Rp 50.000 yang tidak mungkin aku lewatkan begitu saja. Aku mengarahkan kamera smartphone dengan mantap. Pemandangan ini tak boleh ditinggal. Begitu juga dengan romansa pasangan bule yang sumringah dipotret kawannya.
Juga ada cinta di Pura Ulun Danu Bratan, Bedugul.
Pura yang berbentuk piramida itu memiliki gaya khas yang tak terlupa. Ia bersenyawa dengan alam di sekitarnya. Ia seolah berbicara tentang rasa Bali yang sebenarnya. Tentu, aku menikmati segenap rasa yang disuguhkan dengan manis olehnya.

Bajra Sandhi Bercerita Tentang Rupa Bali Masa Lalu  

Di mana-mana adalah sejarah yang akan dikenang. Aku juga meminta kepada Pandu untuk membawa kami ke tempat bersejarah di negerinya. Maka, Bajra Sandhi adalah tempat itu. Mungkin lebih dikenal juga dengan nama Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang terletak di Jalan Raya Puputan, Niti Mandala Renon.

Tempat ini begitu indah dan mungkin luput dari list traveler yang ke Bali. Candi yang tinggi. Halaman yang luas, rumput hijau yang ditata rapi juga terdapat race untuk jogging.

Bajra Sandhi, monumen bersejarah di Bali.
Bagi kamu yang ingin mengetahui sejarah Bali di sini wajib membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000. Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini terdiri atas 17 anak tangga di pintu utama, 8 tiang agung di dalam monumen, dan monumen yang menjulang 45 meter. Aku menikmati tiap lekuk candi dan pemandangan Kota Denpasar yang indah.
Ada yang foto wedding di sini.
Lihatlah mereka yang foto wedding di bangunan tua ini. Indah sewajarnya. Berbicara soal rasa seperlunya.

I’tikaf Sejenak di Masjid Sudirman

Ke manapun melangkah, adalah masjid tempat kembali untuk bersujud. Aku berujar kepada Pandu, “Bawa kami ke masjid di Bali ya!”

Aku memang tidak menyebut nama masjid dengan lebih spesifik namun Pandu paham maksud itu. Maka, singgahlah kami ke Masjid Sudirman di Kompleks Kodam Udayana, Denpasar. Sekilas, ornamen yang membentuk masjid ini begitu indah adalah ciri khas Bali – atau bangunan Hindu yang kentara sekali.

Bangunan sederhana ini menyimpan rahasia Ilahi yang tak pernah tersingkap di Bali. Gemuruh lain tentu berbeda namun Islam di Bali juga bergema dengan keanggunan dalam dirinya. Pandu berkata, Masjid Sudirman termasuk salah satu masjid terbesar di Bali.

Masjid Sudirman di Denpasar.
I’tikaf sejenak di masjid ini tak lain sebagai rasa syukur telah sampai di Bali. Mungkin nanti akan kembali. Mungkin juga tidak. Namun, sebagai muslim, aku wajib mengunjungi masjid ke manapun langkah membawa jiwa. Rasa syukur itu tak bisa dilukiskan dalam indahnya matahari terbenam di Tanah Lot atau di Pantai Kuta.

Tumpuan harapan untuk keselamatan sampai pulang kembali adalah di rumah ibadah yang doanya lebih khusyuk, tenang dan damai. Maka, jika kamu ke Bali, tak salahnya untuk mampir ke masjid ini, dua rakaat salat sunat sudah lebih dari cukup jika belum waktunya salat wajib.

Aroma Bali adalah keindahan. Bali adalah surganya bule. Tampan mereka tak terkira. Senyum mereka membawa kehangatan. Tempat wisata di Bali memang banyak sekali, hanya saja, aku baru mengunjungi beberapa ini. Mungkin nanti, ke Ubud atau ke lokasi film Eat Pray Love. Tiada yang tahu. Sudahkah kamu melukiskan rencana ke Bali?  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *