Bahaya Pantai Kuta Bali Ada Panggilan Mesra Pawang Laut

Bahaya Pantai Kuta Bali
Bahaya Pantai Kuta Bali Ada Panggilan Mesra Pawang LautHampir seluruh pandangannya adalah mereka yang mengenakan underwear saja. Salah sendiri jika memilih pantai ini untuk berlibur, jika tidak sanggup menahan napsu. Jangan salahkan mereka yang berjemur dengan pakaian dalam saja di Pantai Kuta ini jika langkahmu masih tetap kokoh ke sana. 

Bahaya Pantai Kuta Bali

Senja yang menanti rindu ke peraduan menjadi sebuah hal yang sangat dinantikan. Pantai Kuta menjadi sangat padat pada sore, 10 September 2016. Saya, Sandi dan Pandu baru saja sampai ke pantai ini setelah sebelumnya ke Pura Ulun Danu Bratan di Bedugul. Kami menyiapkan kamera untuk membidik sunset yang sebentar lagi turun.

“Di mana-mana bule berjemur ya?” seru saya yang membuat Sandi dan Pandu terkekeh. Bidikan kamera smarphone baru kami pun menjelma menjadi monster dalam film laga, menangkap setiap objek yang sudut pandangnya menarik dan unik.

“Puas-puasin deh, Bang, lihat bule berjemur pakai underwear,” celutuk Pandu dengan senda gurau. Eh, memang benar sih, bule-bule itu santai saja berjemur, berkeliaran di seputaran Pantai Kuta hanya menggunakan pakaian ‘renang’ saja. Pakai kacamata hitam sekalipun, pemandangan ini akan terasa putih berseri-seri.

Kecuali, jika kamu memakai penutup mata warna hitam pekat. Ruginya tentu saja, kamu akan meraba-raba dan intinya nggak penting banget capai-capai ke Pantai Kuta!

Sepasang bule melintas di depan kami. Matanya sempat terarah kepada kami namun terlanjur berhadapan dengan seorang keturunan Cina. Suaminya meminta kepada si Cina untuk memotret mereka dengan background matahari terbenam. Saya berulangkali mengucap syukur.

Bukan tidak mau menolong namun istrinya itu lho, hanya memakai underware saja. Tangan saya bisa saja gemetar duluan memotret mereka yang mesra, manja dan penuh gaya persis di depan mata.

Matahari kian terbenam, anak-anak berkeliaran di bibir pantai dengan papan selancar. Orang-orang dewasa surfing jauh ke dekat ombak. Sesekali mereka bermain dengan ombak besar, dihantam dan jatuh ke laut. Satu dua ada yang ngotot melewati ombak pertama.

Tiga gadis Jepang melintas dengan cekikian manja. Entah lupa kepada kami. Entah karena begitulah Pantai Kuta di Bali, mereka mengambil beberapa foto persis di depan kami. Tiga gadis Jepang ini pun tidak kalah seksinya, walaupun mereka tidak memakai underwear namun celana di atas lutut cukup membuat saya ingin segera berpaling.

Gadis Jepang sedang memotret temannya di bawah sunset Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
“Prittt!!!” Suara peluit terdengar di samping kami. Saya kaget bukan main. Saya pikir siapa pula pria yang berdiri saja dengan peluit digantung di lehernya. Pria itu kembali meniupkan peluit berulangkali. Ia berlari ke dekat anak-anak yang sedang bermain pasir di antara ombak yang mulai surut. Peluitnya makin tak henti. Tangannya memanggil-manggil peselancar yang belum juga memeluk selancarnya.
Penjagaan ketat dari pawang laut yang ada di segala sisi – Photo by Bai Ruindra
Saya kemudian mulai peka. Dalam radius beberapa meter terdapat seorang pria yang menggantungkan peluit di lehernya. Saya mengira mereka adalah wisatawan yang menunggu anak berenang. Saya juga berpikir mereka adalah ayah dan suami dari anak dan istri yang sedang berkeliaran di pantai ini.

Saya tidak tahu badan tegap dengan mata menyelidik ke mana-mana adalah orang penting di pantai ini. Mereka kemudian menghalau siapa saja yang melewati batas di Pantai Kuta. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa yang melewati ombak pertama juga mendapat teguran untuk kembali.

Para bule yang sedang berselancar rupanya paham betul dengan hal ini. Dari kejauhan terlihat semangat mereka keluar dari ombak pertama, lalu berselancar kembali di ombak yang pecah.

Pawang laut yang berjaga – Photo by Bai Ruindra
Hari yang semakin senja, wisatawan semakin mendekat ke bibir pantai. Waktu yang ditunggu adalah saat-saat matahari berbentuk bulat dengan warna keemasan. Lembaran kuning telah tersirat di kaki langit.

Tak lama setelah itu, matahari menukik tajam. Peluit pria-pria yang bertugas dengan lantang meniupkan perintah. Panggilan kepada mereka yang memakai underwear, yang masih berselancar di bawah sunset orange.

Tampak beberapa bule berlari ke daratan. Langkah mereka gagah. Pahanya berisi otot-otot terlatih. Dada mereka bidang. Lengan gempal. Seksi dengan underwear sehabis surfing di Pantai Kuta yang indah dan adem. Jika boleh membandingkan, ombak di pantai ini memang memiliki irama yang lebih lembut, mendayu semerdu piano lagu slow.

Hentakannya satu-satu dengan bunyi khas dan dentuman yang tak garang seperti pantai yang pernah saya temui selama ini. Ombak tempat para surfer mengalunkan keseksian mereka, naik turun seirama dengan detak jantung mereka yang hati-hati dan penuh pertimbangan akan keselamatan.

Bahaya Pantai Kuta Bali
Surfing adalah aktivitas yang indah di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
Mereka yang meniup peluit, pawang laut di Pantai Kuta menghalau semua orang yang masih mandi di bibir pantai. Matahari yang terlihat lembut dan manis tampak garang sedetik kemudian dengan panasnya masih terasa. Pawang laut itu sesekali menarik lengan anak bule untuk keluar dari bibir pantai.

Rupanya, inilah aturan yang berlaku di Pantai Kuta. Sunset mengucap salam, saat itu juga semua orang tidak dibenarkan lagi mandi atau berselancar!

“Itu pawang laut?” tanya saya.

“Begitulah kira-kira,” jawab Pandu.

Peran yang begitu penting untuk sebuah tempat wisata. Memang, pawang laut ini bisa menjadi bagian kecil dari keindahan alam di pantai. Seorang pawang yang bertugas di bibir pantai begini membuat semua wisatawan aman dan terjaga. Patut kiranya peran ini mengambil andil besar dalam hal keselamatan wisatawan.

“Mereka selalu ada ya, Pan?”

“Iyalah, Bang. Mereka jaga-jaga di sini!”

Menikmati orang surfing di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
Jaga-jaga. Tapi ya bukan penjaga bule yang memakai underwear saja. Mereka menjaga agar wisatawan tidak melewati batas sehingga akan pulang dengan selamat. Kamu tahu pasti bahwa pengunjung pantai ini rata-rata mereka yang bukan berasal dari Bali. Hampir semua orang menginginkan kaki terinjak di Bali.

Aroma keindahannya semerbak kasturi. Wisatawan lokal dan mancanegara berbondong-bondong mendekati Bali. Kekhawatiran seperti ini telah dicemaskan oleh pemerintah Bali sehingga menitipkan beberapa pria sebagai pawang di pantai yang membentang sampai ke Bandara I Gusti Ngurah Rai.

Dari sini pula kita bisa melihat pesawat yang sedang take off atau landing. Di senja begini, pesawat yang baru saja tiba dan berangkat seperti kerlap-kerlip lampu disko di atas awan. Indahnya tentu tak terkira dan manis semanis madu menjelang istirahat malam.

Sunset telah tenggelam sempurna di Pantai Kuta. Wisatawan pun gerak jalan ke penginapan masing-masing, atau bersantai lagi di kafe-kafe mewah dan mahal di seputaran pantai ini. Kafe-kafe itu telah menghidupkan lampu-lampu di segala sudut. Campur aduk antara kelembutan dan romantisme malam.

Pawang laut yang tidak saya hapal wajahnya juga tidak terlihat lagi di bibir pantai yang sepi. Sunyi yang seketika menimbulkan auman romantis saat ombak memecah pasir satu persatu.

Bahaya Pantai Kuta Bali
Seorang bule yang tampak kelelahan setelah surfing – Photo by Bai Ruindra
“Ayo kita pulang!” Karena kisah Jalan-Jalan dengan pantai indah Kuta, Bali, telah berakhir sampai di sini, nanti, di waktu yang tak tentu, mungkin bisa bersua kembali. Begitulah Bahaya Pantai Kuta Bali.
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *