Begitu guru tidak masuk ke kelas, guru piket hari itu akan mengarahkan anak-anak ke perpustakaan. Suara bising bisa terdengar dari guru lain yang menganggap perpustakaan adalah ‘tempat buangan’ anak-anak. Padahal, itu adalah salah satu cara untuk kembali ke gemar membaca yang telah lama ditinggal pergi.
Daftar Isi
Ayo Ke Perpustakaan Agar Gemar Membaca
Kita semua tahu, anak-anak zaman sekarang sangat dekat dengan internet bergerak cepat. Referensi sedikit saja langsung googling. Ada soal rumit, langsung buka brainly.co.id. Itulah tipikal anak-anak zaman sekarang yang saya lihat sendiri di sekolah; saya tidak tahu sekolah lain ada yang demikian atau tidak.
“Ngapain dibawa ke Perpustakaan, bikin gaduh saja?”
“Mereka ke Perpustakaan bukannya belajar malah bercerita satu sama lain!”
“Kasih tugas saja daripada dibawa ke Perpustakaan, tugas bisa dinilai gurunya, main ke Perpustakaan yang dapat cuma buku berserak!”
“Ada nanti anak laki-laki, silap petugas Perpustakaan sudah keluar main-main!”
“Ada juga ada perempuan duduk di pojokan sambil baca komik!”
“Memang nggak ada harapan kalau bukan guru yang mengajar di kelas!”
Sebelum menyerukan hal serupa, ada baiknya menilai dari sisi yang berlawanan. Perpustakaan tetaplah gudang ilmu yang tidak bisa dinafikan sama sekali.
Kau mau menyebut ke Perpustakaan kurang bermanfaat, di tempat inilah kau bisa menambah pengetahuan kala guru tidak sedang berada di kelas. Bahkan, sebagian Perpustakaan sekarang ini telah menyediakan Buku Digital agar lebih user friendly dengan anak-anak zaman now.
Titah Lupa Membaca Buku Anak Masa Kini
Di tahun 2000-an, Majalah Annida adalah satu satu media massa yang cukup populer. Tidak saja di kalangan pembaca karya Islami tetapi pembaca umum juga demikian.
Sekitar 1999 akhir saya mengenal majalah yang diprakarsai oleh Helvy Tiana Rosa ini. Saya selalu suka dengan cerita pendek yang dimuat pada majalah ini.
Di Perpustakaan sekolah menengah pertama itu, petugasnya adalah seorang perempuan alim yang selalu membawa Annida maupun Ummi terbaru. Rupanya, petugas yang kami sebut Bu Lisan itu tak lain penikmat karya sastra Islami. Mulailah dari sana saya, dan beberapa kawan lain mulai meminjam Majalah Annida kepadanya.
Saya tidak mengerti dengan budget sekolah. Yang saya tahu, sekolah tidak menyediakan bacaan yang menyenangkan seperti Annida di Perpustakaan kami. Tiap bulan saya selalu membaca cerpen-cerpen yang keren-keren. Karya-karya Asma Nadia maupun penulis beken lain telah lahap saya baca.
Dari bacaan ringan di Majalah Annida ini, saya beralih ke novel-novel Islami yang juga di koleksi oleh Bu Lisan. Novel-novel ringan karya Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, maupun Gol A Gong, membawa pengaruh terhadap karir kepenulisan saya.
Pada saat jam istirahat, saya kerap kali berlari ke Perpustakaan untuk mencari Majalah Annida terbaru atau novel terbaru yang dibawa Bu Lisan. Tampaknya, tidak selamanya saya beruntung. Kecewa itu kemudian berakhir ke rak-rak buku yang susunannya lebih sedikit dibanding rak lain. Rak itu tak lain adalah koleksi novel-novel di Perpustakaan sekolah kami.
Saya mulai membaca karya fenomenal seperti, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Robohnya Surau Kami karya A.A Nafis, sampai ke roman picisan karya Mira W.
Di tahun 2002 ke atas, saya mulai membeli Majalah Annida sendiri dengan menyimpan uang jajan. Dulu, harga Majalah Annida ‘cuma’ Rp3500 dan terbit 2 minggu sekali. Bisa dibayangkan untuk sampai ke pelosok Aceh dalam waktu yang cukup lama. Tetapi saya bangga, karena cerita di majalah ini membawa pengaruh besar terhadap literasi dalam hidup.
Saya mulai gemar membaca sampai ke tahap membeli novel Islami sendiri. Karya-karya Asma Nadia, Melvy Yendra sampai beberapa penulis Annida lain saya koleksi. Tentu saja, kumpulan cerpen pemenang lomba menulis di majalah ini saya koleksi.
Di Perpustakaan sekolah menengah atas, saya tidak mendapati novel-novel terbaru. Novel yang ada di rak Perpustakaan kami tak lain karya yang sudah pernah saya baca sebelumnya. Namun, bukan berarti ke Perpustakaan tidak boleh. Saya malah senang bisa membaca buku-buku lain yang ada di Perpustakaan. Bahkan, saat guru meminta kami masuk ke Perpustakaan, saya sangat antusias sekali.
Gemar membaca saya yang dulu sayang sekali tidak diwariskan oleh anak-anak zaman now. Entah karena daya tarik yang kurang dari Perpustakaan atau buku-buku yang ada di dalamnya, atau gemar membaca bukan lagi bagian dari jati diri anak didik kita.
Perpustakaan yang Tak Boleh Ditinggal
Kalau saya tanya siapa Duta Baca Indonesia tahun ini, apakah anak-anak kita mengetahuinya? Saya rasa tidak semua. Anak-anak saya di sekolah cuma tahu Najwa Shihab seorang presenter yang kritis, sedangkan Gol A Gong belum tentu mereka tahu seiring pesohor-pesohor media sosial muncul di jaringan internet cepat dunia.
Di waktu yang sudah tidak ‘ramah’ lagi bagi anak-anak masa kini, Perpustakaan hanyalah milik anak-anak pintar saja. Mengapa saya setuju saat kelas tidak masuk guru, anak-anak dibawa ke Perpustakaan?
Inilah alasannya. Saya tidak masalah anak-anak membaca komik, novel, majalah, maupun selembar koran sobek di Perpustakaan. Itulah gemar membaca yang sedang mereka galakkan untuk kemudian menjadi hobi tersendiri.
Bacaan ringan di Perpustakaan tak lain cikal-bakal untuk membaca lebih banyak buku di masa mendatang. Memang, membaca buku berat mungkin saja akan membuat kita bosan dan malas seperti bubarnya Kelas Literasi dalam drama Sky Castel karena anak-anak dipaksa bedah buku Zarathustra karya Nietzsche yang sungguh berat dibaca dan dipahami.
Baca buku tidaklah harus menjadi orang hebat dengan ‘buku berat’ saja. Buku-buku yang dibaca adalah manfaat tersendiri bagi pembaca. Saat saya bertanya kepada anak-anak yang sedang duduk di Perpustakaan, kata mereka begini.
“Waktu senggang adalah baca buku, Pak. Karena kalau sudah belajar sering pusing dengan rumus Fisika atau hapalan tahun praaksara!”
Siswa lain berkata, “Buku kawan saya sejak kecil, rasanya ada yang kurang kalau sehari saja saya tidak membaca buku, contohnya komik ini bisa jadi atmosfer tersendiri dalam hidup saya!”
Perpustakaan yang mungkin sudah bergeser jauh karena kehadiran smartphone, kembalilah ke sini karena ilmu-ilmu itu tak pernah bermuara ke mana arahnya. Ilmu dari buku meskipun telah usang masih sangat indah untuk dipahami dan ditelaah manfaatnya.
Pernahkah tahun melupakan Ayat-ayat Cinta? Adakah kita melupakan Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai meskipun kisahnya diurai sejak 1922. Buku-buku ini sampai hari ini masih relevan dan dibaca di mana-mana.
Perpustakaan yang Beranjak ke Digital
Memang, sekolah saya belum secanggih itu. Di beberapa sekolah yang populer, Perpustakaan menggaungkan gemar membaca melalui Buku Digital. Hal ini tentu menarik untuk merangkul ‘warga’ zaman modern untuk kembali ke Perpustakaan.
Satu hal yang pasti, zaman boleh berubah ke mana suka, tetapi Perpustakaan sejatinya harus mengikuti ke arah sana. Hal yang mudah sekarang misalnya membaca novel-novel fenomenal secara digital, mudah membaca jurnal luar negeri untuk referensi, dan juga sangat gampang mempelajari soal-soal dengan bantuan internet cepat dari IndiHome.
Internet cepat telah masuk ke pelosok negeri yang mana menyuguhkan informasi menarik tak saja secara ilmiah tetapi hiburan. Telkom Group yang memprakarsai internet cepat sangat membaca Perpustakaan go digital.
Dengan banyak sekali Buku Digital, saya berharap gemar membaca kembali ke peraduan. Anak-anak bisa bebas membaca di sekolah yang sifatnya modern, dan bebas membaca di rumah menggunakan internet cepat melalui smartphone mereka.
Ayo kembali ke Perpustakaan untuk cerdaskan negeri!
Leave a Reply