Aceh dan Dibalik Hal Sepele dalam ‘Boarding Pass; waktu untuk terbang’ – Ada satu hal yang dilupa oleh penulis Aceh atau penulis luar Aceh saat mendeskripsikan sebuah kisah dalam novel tentang Aceh; soal ragam tema. Aceh tidak selalu soal konflik berkepanjangan, tsunami yang penuh duka, korban kekerasan setelah konflik, wanita dan anak-anak korban konflik, perbedaan suku Aceh dan Jawa transmigrasi, ataupun luka lain yang terus dialamatkan kepada Aceh, seolah membuka luka lama sampai tak ada titik.
Aceh yang modern, gaya hidup anak muda yang sudah mewah, anak muda kreatif ada di mana-mana, dan lain sebagainya. Luput dari sentuhan penulis beken dari Aceh maupun luar Aceh. Mereka terus mengkritik penguasa, membongkar aib masa lalu yang seharusnya telah dilupa sejak lama. Penulis lain terus berkisah tentang luka karena nilai jualnya di sana; seakan-akan hanya itu yang dimiliki Aceh dari dulu sampi kini.
Bagi saya tidak demikian. Kisruh yang ada di Aceh sangatlah beragam. Bagian terkecil dari apa yang selama ini luput sebenarnya menjadi kisah yang menarik jika diterima oleh penikmat kehidupan di Aceh. Saat masa senang dan aman begini, saya ingin membuat sesuatu untuk bersenang-senang juga.
Boarding Pass; waktu untuk terbang, tidak tiba-tiba muncul lalu ditulis. Based of true story, lebih tepatnya demikian. Pengalaman di Aceh yang menggambarkan demikian setelah berbenturan dengan adat dan kebiasaan. Seorang wanita harus membayar denda dua kali lipat mahar jika membatalkan pertunangan, sejatinya telah banyak terjadi di Aceh. Dianggap biasa barangkali bisa, dianggap tidak biasa kemudian mempertimbangkan banyak hal.
Saat seorang wanita mengembalikan mahar atau memutuskan pertunangan dengan alasan apapun, tidak saja harga diri pria yang dilukai tetapi juga orang tua dari pria yang datang melamar, keluarga besar yang sudah merestui dan agama yang mendoakan segala bentuk kebaikan dari sebuah pernikahan. Wanita yang demikian dipandang merendahkan pria dan keluarganya sehingga harus membayar ‘ganti rugi’ dengan mengali dua mahar yang telah diberikan.
Dalam banyak kejadian, setahu saya, wanita yang membatalkan pertunangan karena tidak nyaman lagi atau masa tunangan yang sangat lama sehingga muncul godaan lain sebab mengesampingkan kepercayaan dan kesetiaan suatu hubungan. Masalah ini hanya wanita bersangkutan yang paham mengapa harus mengembalikan mahar, bagaimana tidak bisa mempertahankan hubungan dan mengapa tidak bisa percaya lagi kepada calon suaminya.
Di dalam banyak pandangan barangkali ini dianggap terlalu biasa tetapi pertimbangan lain yang luput dari orang yang tidak tahu proses sebuah hubungan, di sinilah letaknya Aceh dalam mempertimbangkan harga diri seorang pria. Dalam proses suatu hubungan, tidak semua orang sama. Ada pria yang jika sudah berniat menikah namun tidak memiliki mahar sedikitpun, dirinya akan bekerja ‘mati-matian’ agar dapat meminang pujaan hati. Keluarga juga ikut membantu dengan menyumbangkan sedikit mahar tersebut sebagai tambahan jika masih kurang. Proses ini yang dipelajari oleh masyarakat Aceh dulu sehingga jika wanita memutuskan tali pertunangan ini, wajib bayar denda.
Menikah cukup dengan mahar seadanya saja. Dalam Islam memang mengajarkan demikian tetapi saat dipadukan dengan adat-istiadat semua menjadi baku dalam menjaga marwah dari pria dan juga wanita. Sejauh mana kita bisa menilai seorang wanita dan pria dalam mempertahankan hubungan, dimulai dari proses ini. Wanita yang mengembalikan mahar sudahlah disebut wanita yang tidak baik-baik karena terlalu egois untuk dirinya sendiri tanpa mempertimbangakan pria maupun kedua keluarga. Pria yang tidak mampu menjaga hubungan dengan lebih baik, artinya keseriusan saat mencari rezeki agar bisa membeli mahar tidaklah datang dari yang baik-baik.
Wanita baik-baik akan terlihat. Demikian pula pria baik-baik. Mahar emas sangatlah mahal jika orang luar Aceh menilai sejauh itu. Harga diri dari pria yang bekerja keras mendapatkan mahar tidak dipelajari sampai ke sana, keluarga yang melamar dalam berbagai prosesi tidak bisa dianggap angin lalu. Datang melamar bukan lagi ajang main-main. Pria Aceh yang ingin menikah, ada saja cara untuk mendapatkan mahar emas sampai lunas. Mahar emas yang diberikan juga tidak semua sama. Semua tergantung kepada ‘jodoh’ yang bertamu. Seorang pria biasa-biasa saja akan bertemu dengan wanita yang biasa juga. Sehingga, jumlah mahar yang diberikan juga tersanggupi.
Memang, ada wanita yang menunda-nunda memutuskan pertunangan meskipun banyak masalah karena tidak mau bayar denda. Wanita tipe ini akan menanti pria yang memutuskan hubungan agar mahar yang telah dikasih itu hangus. Wanita itu lebih egois lagi di mana mahar 5 mayam, 10 mayam, misalnya, akan disimpan untuk dirinya sendiri tanpa harus dikembalikan.
Pria datang melamar dengan jumlah mahar banyak itulah letak keseriusan seorang laki-laki. Ia tidak lagi memikirkan perkara lain selain menikahi wanita yang dirinya lamar. Ia serius mempertahankan hubungan agar bahagia sebagaimana mestinya. Mahar yang dikasih adalah ikhlas dari hati karena dirinya percaya kepada calon istrinya, dan juga kepada calon mertuanya. Jika disalahgunakan kepercayaan ini, tidak saja sakit hati, namun kecewa berkepanjangan juga akan terjadi. Manusia memang demikian, di manapun itu.
Bicara soal materi, saat cerita ini saya tulis 1 mayam emas di Aceh (1 mayam = 3,33 gram) berkisar Rp.2.500.000. Jika dikali 5 hasilnya Rp.12,500,000 dan jika dikalikan 10 maka hasilnya adalah Rp.25,000,000. Harga emas yang fluktuatif bisa berakibat fatal jika menilai semua dalam hal materi. Pria mana yang mau ‘membuang’ uang sebanyak itu kalau akhirnya disakiti? Ego seorang pria tetaplah ada selain rasa malu berkepanjangan karena dicampakkan tunangannya.
Materi masih bisa dicari. Harga diri tidak demikian. Pertunangan yang sakral, ibu dari pria yang menyarungkan cincin ke jari manis calon menantunya bukan seremonial semata, itulah kepercayaan yang telah diberikan dengan sepenuh hati. Harga diri ini yang tidak bisa dibeli oleh siapapun dengan harga berapapun. Seorang pria tidaklah mudah untuk melangkah jauh karena banyak sekali pertimbangan, seorang wanita yang menerima pria haruslah menerima semua kekurangan kalau tidak akhirnya akan begini; diputuskan sebelah pihak.
Kisah demikian banyak sekali di Aceh. Wanita yang disebut menjaga marwah, wanita yang disebut selalu terzalimi, tidak selamanya demikian. Makanya, di awal saya sudah sebut, Aceh tidak saja soal luka dan wanita yang sengsara, pria juga demikian. Namun sekali lagi, pria tidak mudah memperlihatkan apapun yang sedang berkecamuk di dalam dirinya.
True story untuk kisah ini berangkat dari apa yang terjadi di sekitar saya. Memang tidak sedramatis di dalam Boarding Pass; waktu untuk terbang. Namun berkali-kali ada yang membatalkan pertunangan dari pihak wanita karena kurang cocok, prianya belum mapan, wanita tergoda pria lain, mahar yang diberikan sedikit, atau alasan lain yang dibuat agar pertunangan putus.
Wanita yang mengembalikan mahar emas tanpa perantara keluarga juga true story. Dengan alasan tidak lagi cocok, barangkali bertemu pria yang lebih ganteng, wanita ini membuat pertemuan dengan tunangannya dan mengembalikan mahar yang telah diberikan. Pria itu masih berhati baik, menerima apa adanya, sadar kekurangan, dan memahami kondisi wanita yang dicintai kemudian memberikan kelonggaran untuk tidak membayar denda.
Nah, bicara empat mata masih sah saja. Begitu masuk ke ranah keluarga tidak demikian. Keluarga pria, biar bagaimanapun, akan pasang badan untuk membela harga diri anaknya. Meskipun pria itu telah ikhlas namun keluarga tidak demikian. Pertemuan keluarga tetap harus digelar, yang malu tentu pihak wanita yang tidak tahu apa-apa atas pemutusan hubungan tersebut.
Pepatah, nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa dihindari. Keluarga wanita tetap harus membayar denda meskipun pria itu telah ikhlas. Suatu hubungan akan jadi rumit saat keluarga kedua belah pihak masuk. Demikian pula dengan pernikahan, menikah itu bukan saja dua orang bersenggama lalu bahagia selamanya, melainkan menikahkan dua keluarga. Keputusan yang diambil setelah pertunangan juga harus melewati pihak ketiga yang ditunjuk kedua belah pihak. Tidak ada lagi pengambilan keputusan oleh kedua calon.
Simpel bagi sebagian orang. Biasa saja karena di mana-mana juga ada. Kembali lagi, kita tidak bisa hidup dalam dunia modern yang penuh kata permisi. Kita memiliki adab, sopan santun, adat-istiadat yang dijunjung tinggi, dan juga ajaran agama yang diyakini dengan sebenarnya. Pertimbangan-pertimbangan itu membuat kita sekarang hidup aman dan nyaman.
Kalau wanita memutuskan pertunangan, maka harus bayar denda. Pria yang telah memberikan mahar itu artinya menaruh kepercayaan. Itulah yang sama-sama harus dijaga dengan baik. Sejauh mana. Sampai di mana. Sekali lagi, wanita baik-baik, akan menghargai usaha dari pria yang melamarnya. Wanita baik-baik itu dalam berbagai persepsi, bukan saja konotasi negatif yang mungkin kamu bayangkan saat ini. Bisa saja tabiatnya yang egois, tidak mau memahami pasangan, mau menang sendiri atau perkara sepele lain yang sebenarnya inilah yang mengangkat perkara besar nanti.
Boarding Pass; waktu untuk terbang merangkum semua hal sepele itu. Aceh – sekali lagi – banyak sekali hal sepele yang dilupakan. Saya pikir, tidak perlu terlalu jauh membuat rumit masalah karena hal ringan saja jadi rumit. Saya bersenang-senang dengan cerita ini agar pembaca juga menikmati setiap ketegangan di dalam tiap bagian. Selamat membaca! BOARDING PASS; WAKTU UNTUK TERBANG di KWIKKU.
Leave a Reply