2 Ampere Listrik PLN yang Mengubah Nasib dan Masa Depan – Sebut saja namanya Kana, seorang siswi MAN 2 Aceh Barat yang lulus tahun 2016. Dimulai dari keinginan dan tekad, Kana berhasil masuk ke Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala, jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Sebenarnya, adalah hal yang sangat simpel sekali untuk saya membubuhkan kenangan tentang Kana – juga siswa lainnya setelah tahun itu. Khairunnisak misalnya yang lulus di FMIPA Kimia maupun Khaula Annisa yang lulus di Jurusan PAUD. Siti Kana punya cerita yang lebih daripada keduanya yang lulus melalui SNMPTN dan mendapatkan Beasiswa Bidik Misi.
Cerita kehidupan yang berangkat dari ‘hanya’ 2 ampere listrik PLN namun mampu mengubah nasib ketiga anak didik saya ini. Demikian titah dari penilaian keluarga mampu ataupun tidak mampu dalam seleksi masuk perguruan tinggi – yang kini masih berlaku.
‘Jika kau ingin masuk kuliah secara cuma-cuma dan meraih prestasi setinggi-tingginya, maka mulailah dengan kejujuran!’
Ketukan nada dari mulut saya barangkali tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil yang didapat kini. Kana yang berhasil kuliah tanpa bantuan orang tua, mengajar les dari siang ke malam hari, bahkan sibuk di beberapa organisasi tanpa menyampingkan bangku kuliah.
Di atas semua itu, Kana dengan anggunnya masuk ke ruang kuliah untuk mengganti dosen ‘wali’nya mengajar adik tingkat. Tidak mudah untuk menjadi asisten dosen di Fakultas Teknik; dengan embel-embel berangkat dari kampung dengan segala keterbatasan.
Kita mulai dari angka 2 di ampere listrik PLN. Ujar saya waktu itu, “Kana, siapkan slip pembayaran listrik 3 bulan terakhir,” saya sudah tahu ini pasti diminta tiap kali mendaftar ulang perkuliahan. Saya berkata tepat di saat Kana mendaftar SNMPTN dan mengisi formulir Bidik Misi, bukan ketika dirinya lulus. Separuh hati saya, yakin sekali bahwa Kana akan lulus di jurusan yang menjadi impiannya.
“Selama 3 bulan terakhir ini pula, usahakan pemakaian listrik seminim mungkin,” pesan saya sebelum kami berpisah. Saya membantu pengisian SNMPTN dan Bidik Misi Siti Kana sore itu di sebuah warung kopi Kota Meulaboh. Keterbatasan akses internet di sekolah dan juga waktu yang diburu untuk segera menyelesaikan pendaftaran menjadi alasan untuk duduk di warung kopi dengan internet gratis.
Beranjak waktu ke hari yang ditunggu. Kana benar lulus di Teknik Kimia. Tentu, apa yang saya sampaikan di waktu pendaftaran terjadi begitu saja. Kana harus ‘mengurus’ slip PLN 3 bulan terakhir yang diminta oleh panitia penerima calon mahasiswa baru.
Kana yang sudah mendapat sentilan di awal, tidak lagi ketar-ketir mencari slip pelunasan pemakaian PLN di rumahnya. Saya masih ingat beban yang harus dibayar waktu itu berkisar antara Rp15.000 sampai Rp20.000 saja. Kana mendengar nasihat saya soal penghematan besar-besaran – meskipun tanpa dihemat rumahnya juga tidak banyak pemakaian listrik.
Rumah sederhana dengan alat elektronik rice cooker dan setrika listrik, tentu tidak menjadi beban besar bagi pengguna jasa PLN; selain lampu tentunya. Hidup bersama Ibu-nya, Kana mencatat pengeluaran dengan sebaik mungkin sebelum dinyatakan lulus SNMPTN.
Slip PLN ‘Lunas’ yang diserahkan kepada panitia penerimaan calon mahasiswa baru membuahkan hasil yang tidak sedikit. Kana dinyatakan lulus Bidik Misi dan mendapatkan beasiswa penuh selama 4 tahun kuliah di Teknik Kimia. Belum lagi jika prestasinya baik, ada harapan untuk melanjutkan beasiswa ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Sampai saat ini, universitas masih menjadikan tagihan listrik sebagai patokan seseorang mampu atau kurang mampu. Dalam logika barangkali juga demikian, mana mungkin orang kurang mampu bayar listrik sampai ratusan ribu, atau mana mungkin orang serba kekurangan memiliki mesin cuci, kulkas bahkan AC.
Dari sini, saya memberikan arahan kepada anak-anak lain yang akan masuk kuliah di tahun-tahun berikutnya. Khairunnisak dan Khaula Annisa juga saya berikan trik serupa. Keduanya mendapat Bidik Misi dan kuliah dengan nyaman tanpa perlu merenungi nasib dalam kesusahan.
Memang, secuil saja perkara ampere listrik ini. Namun sangat besar sekali pengaruh untuk keluarga kurang mampu. Hal masuk kuliah yang dianggap ‘sepele’ asalkan diterima saja dulu tanpa memikirkan bagaimana menjadi ‘enak’ selama menjadi mahasiswa.
Saya memang tidak mengajarkan trik sulap yang ‘jahat’ karena anak-anak dengan ampere lebih dari 2 di rumahnya tentu tidak mudah mendapatkan hal serupa. Sebut saja 4 ampere dengan beban yang harus dibayar lebih besar. Belum lagi patokan listrik prabayar yang bisa saja sebulan isi dua kali Rp50.000 yang tanpa disadari kalau orang kurang mampu bisa disebut telah ‘kaya’ dengan hal remeh ini saja.
Saya terus berujar kepada anak-anak kelas duabelas. Hal paling besar di depan mata mereka adalah nasib baik bisa masuk kuliah dengan mudah dan bisa kuliah dengan gratis pula. Ampere PLN sudahlah umum dan bukan masalah besar. Tetapi, begitu map berkas calon mahasiswa baru dibuka oleh panitia penerimaan, slip PLN 3 bulan terakhir menjadi patokan calon mahasiswa ini layak atau tidak mendapatkan keringanan kuliah – beasiswa yang dimaksud.
Calon mahasiswa dengan tagihan listrik di atas Rp100.000, buat apa dibantu lagi karena sudah dapat jawaban bahwa tanggungannya lebih besar. Listrik saja sanggup bayar mahal apalagi kebutuhan lain. Bayar listrik segitu besarnya adalah untuk televisi yang hampir 24 jam menyala, mesin cuci pakai tiap waktu, setrika dalam jumlah banyak dan sering, kulkas tak pernah berhenti menyala dan perangkat elektronik lain yang hanya mampu dibeli oleh orang tertentu saja.
‘Jangan pernah berlagak kaya sedangkan kau makan saja tidak 3 kali dalam sehari!’
Pesan saya kepada anak-anak yang selalu ingin tampil beda – memang begitu di masanya. Dengan pengalaman mudahnya jalan Siti Kana, Khairunnisak dan Khaula Annisa ke Unsyiah, jadi patokan anak-anak lain untuk kuliah gratis.
Salah satu kunci adalah 2 ampere PLN. Kurang mampu biarlah demikian karena orang ‘sukses’ lain juga pernah merasakannya. Dengan 2 ampere listrik PLN bisa mengubah nasib dan masa depan, kenapa harus mengubah gaya hidup lebih mewah sedangkan kita masih bergantung pada orang tua.
Kunci sukses ada pada diri kita. Keputusan terakhir adalah mau terlihat sederhana atau mewah adalah nasib yang diubah kemudian hari. Saya punya cerita yang mengubah nasib anak-anak sampai ke bangku kuliah dan sukses setelah itu. Mengapa harus memasang wajah congkak saat membayar tagihan PLN sampai jutaan rupiah di minimarket?
Leave a Reply